ad1

CERPEN SWETER OLEH YETTI A. KA


lelaki berdiri di dekat danau
image
Aku tahu siapa yang meletakkan stoples itu di atas bufet kayu tepat di sisi foto keluarga —foto kita; aku, kau, dan papamu yang tentu saja mengenakan sweter terbaiknya. Waktu itu kau ingin memerangkap serangga. Kau tak pernah mendapatkan serangga jenis mana pun, sebab binatang itu lebih banyak hinggap di dinding luarnya saja atau sebagian terbentur tak sengaja lalu buru-buru terbang lagi. Namun, tak disangka, suatu hari ternyata stoples itu berhasil memerangkap waktu dan setelah itu waktu seolah berhenti di sini dan aku banyak berada di masa lalu. Kalau saja kau melihatnya sekarang, kalau saja kau di sini, kau mungkin akan terpana dan berteriak sekencang-kencangnya sampai suaramu menembus atap rumah cokelat tua kita.

Dari kecil kau memang suka sekali berteriak. Papamu tak suka mendengar suaramu yang cempreng (jangan berkecil hati, ia memang tak suka mendengar suara siapa pun). Kamar kerjanya berada di lantai dua. Dan dia sering sengaja turun untuk memperingatkanmu—kadang-kadang dia sengaja menurunkan kacamatanya agar kau bisa melihat matanya yang melebar.

Aku ingat kau pernah mengeluh padaku. Kau bilang, “Papa jahat.”

“Tidak,” kataku, “Papamu sedang menggambar dan dia tidak bisa melakukannya kalau kau ribut.”

Di saat lain kau mengadu, “Papa tidak menyayangiku.”

Aku memandang matamu sedih, “Itu tidak benar,”—meski sesungguhnya aku berpikiran sama, lelaki itu tidak menyayangimu, aku, dan bahkan dirinya sendiri. Dia seorang arsitek. Dari kecil dia bekerja keras untuk mendapatkan keinginannya itu. Dia lahir dalam keluarga miskin. Orang tuanya meninggal saat dia berumur tujuh tahun. Dia dibesarkan oleh bibinya yang juga miskin. Untungnya dia punya otak yang cemerlang. Seorang guru membantunya kuliah dan selebihnya dia mau mengerjakan apa saja dan orang memberinya upah. Namun kemudian cinta membawanya ke arah yang salah. Pada usia dua puluh lima, dia telah jatuh cinta pada istri gurunya itu —perempuan manis yang tengah hamil besar dan tubuhnya bau minyak kayu. Itu cinta yang tidak masuk akal dan menyakitkan. Malangnya, istri gurunya itu mengalami pendarahan hebat sehabis melahirkan dan meninggal tiga hari setelahnya. Sejak itu pula dia mudah sekali menggigil kedinginan dan mengenakan sweter tiap hari seolah sedang bersembunyi dari kebenaran.

Aku bisa memaklumi sikap papamu, sebab itu aku tak banyak meminta sesuatu dari lelaki itu—sebagaimana aku tak memberikan tempatyang besar di hatiku untuk dia karena sebelum kami memutuskan hidup bersama aku telah lama mati. Namun, kau berbeda denganku. Kau kehilangan seorang ibu saat baru berumur tiga hari dan kehilangan ayahmu yang seorang guru itu delapan bulan setelahnya. Kau butuh tempat yang hangat. Kau butuh tempat yang menerimamu sepenuhnya.

Umurmu dua belas tahun waktu aku mengatakan semua itu. Kau meraung. Kau terluka. Kau marah. Setelah itu tiba-tiba kau ingin sekali punya seekor serangga yang tersesat dan sengaja meletakkan stoples di atas bufet di ruang tamu. Aku tahu kau mengalihkan perasaan terlukamu. Aku tahu kau tak benar-benar menyukai serangga dan menginginkannya.

Sampai suatu hari kau berdiri di pintu kamarku dan berkata, “Mama, aku ingin mencintai lelaki itu lebih besar dari yang dapat dia bayangkan.”

Aku sangat cemas, tapi saat itu aku menganggap itu ucapan kanak-kanak yang sengaja kau lontarkan untuk meluapkan rasa marahmu. Kau kebingungan karena duniamu baru saja runtuh. Maka aku hanya memandangmu. Besoknya kau minta dibelikan sweter baru yang sama persis dengan milik papamu, “Kami perlu memakai sweter yang sama saat keluar di pagi hari Minggu,” katamu.

Sayangnya, kalian tidak pernah keluar bersama di Minggu pagi—dan seharusnya kau sudah tahu kalau papamu tidak suka pergi ke mana-mana selain urusan kerja. Namun, kau tetap saja marah. Seakan-akan kau baru pertama kali terluka—dan kau mendramatisirnya sedemikan dalam.

Semakin hari kau menginginkan semakin banyak sweter yang persis sama dengan milik papamu. Kau seperti terobsesi pada lelaki itu dan aku mulai merasa lebih cemas dari sebelumnya. Kau sengaja melakukannya untuk membuatmu lebih terluka lagi. Maka aku menolak permintaanmu.

Kau minggat. Kau tidak pulang hingga pukul sepuluh malam. Aku keluar menembus hujan deras. Papamu memutuskan tidak ikut mencari. Ia terus menggerutu dan mengatakan, “Binatang kecil itu mulai nakal.” Kupikir waktu itu aku akan gila. Aku punya seorang anak perempuan yang mulai memberontak dan punya seorang suami yang tidak mau peduli sama sekali.

Malam itu aku tak menemukanmu meski sudah mencari ke rumah teman-teman sekolahmu. Aku pulang dan berharap salah seorang temanmu yang kudatangi berbohong dan sebenarnya kau ada di sana dalam keadaan baik-baik saja.


Besoknya aku keluar kamar pagi-pagi sekali. Sepanjang malam aku berpikir kalau kau belum juga kembali hingga pukul sepuluh—tepat 24 jam aku kehilanganmu— maka aku akan lapor polisi. Aku pergi ke dapur untuk memanaskan sepotong roti. Aku harus punya tenaga untuk bisa menemukanmu. Pada saat itu lah mataku menoleh ke ruang persembunyian kita—sebuah gudang kecil di dekat dapur yang suatu hari kita sepakati sebagai tempat bersembunyi kalau kita bersedih atau ingin lari dari situasi buruk. Dadaku berdebar keras. Tangisku meledak. Aku buka pintu itu dan menemukanmu tidur sambil memeluk sebuah sweter hitam dengan garis putih di leher yang belum pernah kau pakai sekali pun di suatu pagi di hari Minggu.

Pukul sepuluh, aku bukannya ke kantor polisi, tapi kita pergi ke toko pakaian dan menemukan beberapa sweter baru yang warnanya sama dengan milik papamu. Kau menggandengku sepanjang jalan. Kau bertanya, “Jadi siapa yang membuat Mama mati?”

Aku berhenti dan memandang matamu, “Papamu,” kataku.

“Lelaki itu?” Kau bertanya setengah berseru. Aku tertawa kecil. Aku tak mau membicarakannya denganmu. Kupikir kau masih seorang remaja yang tidak tahu apa-apa. Kau mungkin saja tidak akan paham jika kukatakan: hanya hati yang mati bisa hidup bersama seseorang yang telah memilih mati.

Kau mulai sibuk mencuri perhatian papamu. Kau memotong pendek rambutmu, menampakkan leher mudamu. Kau mulai mengenakan sweter setiap hari, meniru papamu. Kau menunggu papamu turun makan malam meski kau tahu ia akan tetap berada di atas sampai pagi. Puncaknya aku menemukan nama papamu di lengan tanganmu, kau tulis dengan tinta biru.

Aku bertambah sedih memikirkan tentang kita semua.

Dan aku tambah sedih lagi setiap melihat kau patah.

Lalu kau mulai membuang harapanmu. Kau tak pernah lagi mencari papamu. Kau menyimpan semua swetermu dalam gudang. Perayaan ulang tahun kau lakukan bersama teman-teman di sekolah atau teman-teman kuliah ketika kau sudah melewati masa remaja dan kau minta aku menyambutmu dengan kue tar kecil di muka pintu, tanpa perayaan apa-apa. “Mama cukup membisikkan sebuah doa,” ujarmu.

Di pintu inilah aku selalu membisikkan doa itu, bertahun-tahun lamanya. Pintu yang dibiarkan saja berwarna kayu. Lalu di ruang tamu ini, persis di samping stoples milikmu, aku meletakkan kue tar kecil itu dan aku berlari ke belakang untuk mengambil pisau pemotong kue. Namun, saat kembali, aku hanya menemukan piring kosong dan kau menahan tawa dengan pipi yang mengembung. Semua tar kecil itu ada dalam mulutmu. Dan aku lama berpikir bagaimana seorang gadis bisa melakukan hal semacam itu.

Hari ini kau ulang tahun. Apa kau ingat? Aku takut kau terlalu menyibukkan diri dan melupakannya. Tadi pagi aku sudah membuat tar kecil—aku memang selalu membuatnya setiap tahun— meski aku tahu kau mungkin saja tidak akan pulang. Dua tahun lalu kau hanya meneleponku dan minta aku membisikkan doa. Tahun lalu kau tidak menelepon dan satu bulan kemudian kau baru ingat dan menertawakan dirimu dan bertanya, “Apa hari itu Mama mendoakanku?”

“Tentu,” kataku, “aku ingin kau menikah.”

“Aku sudah memutuskan tidak.”

“Kenapa?”

“Aku tidak ingin hidup seperti Mama.’’

Waktu mendengar kau mengatakan hal itu, aku merasa tertusuk hingga memilih menutup telepon dengan sedikit berbohong tentang seorang tamu yang tengah menunggu di depan pintu. Namun, malam harinya, aku tertawa banyak sekali sambil mengulang-ulang kalimatmu sampai aku kelelahan dan tertidur. Begitu pagi, mataku lengket dan sulit dibuka. Kemungkinan besar aku menangis saat tertidur.

Aku menatap stoplesmu. Tampak dingin. Tampak hening. Aku penasaran apa yang bisa dilakukan waktu di dalam sana selain mengekalkan kenangan dalam rumah ini? Barangkali tak ada. Barangkali tugas waktu memang hanya dua. Membuat masa depan dan masa lalu. Dan kita tentu ada di masa lalu itu tepat ketika waktu terperangkap dalam stoplesmu. Tepat lima bulan setelah kau pulang begitu mendengar kabar papamu ditemukan mati di ruang kerjanya dengan sweter merah kekecilan milikmu, yang, tentu saja, diambilnya diam-diam dalam lemari di ruang persembunyian kita (ah, kalau saja kau tahu, kau mungkin akan sangat sedih, saat ditemukan dia begitu berdebu dan seekor laba-laba mulai membuat sarang di rambutnya).

Hari itu kita berdiri berdekatan di kuburan papamu. Kita tidak saling bicara. Kita hanya bergenggaman tangan seolah kita dua orang perempuan yang ditinggalkan seorang kekasih yang tidak tahu cara mencintai —dan kita menyesali hidupnya yang seperti itu. Besoknya kau pergi lagi dan hanya meninggalkan tulisan di secarik kertas yang kau letakkan di dekat stoplesmu: serangga yang tersesat, masuklah.

Sekarang, setelah sekian lama aku menyembunyikannya, haruskah kuberi tahu kalau stoplesmu justru berhasil memerangkap waktu di hari ulang tahunmu yang gelap ini? Ah, kau tidak akan pulang hari ini dan aku tidak suka bicara denganmu di telepon.

Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Tebarkan Abu Jenazahku ke Telaga

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...

CERPEN MALAM RAJAM OLEH BENNY ARNAS


wanita bersedih
image Avareli
Jelang dini hari. Di sebuah ranjang berkelambu coklat muda. Kau terlelap tanpa dengkur. Telanjang dada. Bersarung sebatas lutut. Di sampingmu, terbaring sebatang tubuh molek yang hanya dibalut kain lasem sebatas dada, hingga terintip ceruk di antara dua bukit tinju yang ditutupinya. Selingkaran lehernya menyerak tanda merah sebesar ujung jempol, bagai habis dihisap-kecap. Air muka kalian menyemburatkan lelah yang tak biasa. Tengah malam tadi kalian khatamkan sebuah pertarungan yang tertunda sekian lama. Bukan hanya dengan keringat, tapi kalian juga melakoninya dengan hasrat yang mendahaga. Tak ada yang ditetapkan sebagai pamuncak. Kalian sama-sama kuasa. Kalian pula sama-sama kalah. Bakda itu, lelap kalian adalah sebenar lelap. Untuk apalah bermimpi lagi bila angan-angan itu baru saja tertunai?! Tertunai di atas nama pertautan-halal; di atas ranjang yang berseprai anyar; di atas malam yang dipilahku untuk merajam. Membalas dendam!

***

Siang tadi pesta perkawinanmu digelar dengan mewah. Kau memang seorang istimewa. Anak tunggal pemilik panglong kayu terbesar di kampung. Jadi, adalah mahfum bila perempuan yang baru datang dari kota itu tertawan olehmu. O, jangan-jangan ia yang menawanmu?! Ah, tak penting itu. Perkaranya adalah, aku tak rela kau meminangnya. Tidak!

Memang, kepergianku ke kampung orang tuaku dua pekan silam tanpa sepengetahuanmu dan keluargamu. Tapi, yang membuatku murka adalah sikapmu (juga keluargamu) ketika mengetahui aku raib. Tenang-tenang saja. Ketika itu, mendidihlah darahku. Ingin sekali aku melabrakmu. Bila perlu membuatmu mati-tercekat karena mendapati kedatanganku yang tiba-tiba. Namun, rencana itu kujegal sementara. Aku benar-benar ingin tahu musabab ketakpedulianmu pada diriku, gadis yang kaujanjikan untuk dikawini. O, apakah ketaktahuanmu tentang di mana tepatnya ranah kediamanan orang tuakukah yang membuatmu tak mencariku? Kini, jujur, aku merasa sangat bodoh. Mengapa dulu aku terburu-buru mengambil ketetapan itu. Pergi meninggalkanmu. Berkelana ke kampung ayah-ibu yang justru tak kunjung kuketahui keberadaannya.

***

Aku benar-benar benci pada perawan itu. O, sungguh, kau harus tahu bahwa semua ini bukan salahku!

Apakah kau tak tahu seperti apa pembantu di rumahmu dipekerjakan? Adalah sahih bahwa titah demi titah orang tuamu telah merampas waktuku: sedari subuh hingga malam meninggi. Jadi, bagaimana mungkin aku main-gila dengan laki-laki lain?! Apakah harus kuceritakan perihal aku yang jatuh dari pohon nangka karena keponakanmu dari kecamatan minta diambilkan layangan yang tersangkut di sana; apakah harus jua kukeluhkan bahwa aku pernah terjerengkang di dapur karena ibumu berteriak memintaku gegas menyiapkan air hangat untuk mandi di subuh kau akan diwisuda dua bulan lalu; apakah jua harus kutumpahkan kekesalan bahwa, beberapa kali aku terjerembab dari kereta unta ketika mengantar rantang-rantang para tukang yang merampungkan rumah baru kalian di simpang pasar….; dan apakah harus kumeraung—dalam suara yang pasti memarau—untuk semua akibat yang dimunculkan kesialan-kesialan itu: selangkanganku sakit, perih, bahkan ketika terpeleset di kamar mandi yang akan kusikat di pagi Ahad, bercak-bercak merah tiba-tiba saja mengerubungi celana dalamku. Pedihnya tak tepermanai. Bukan hanya membayangkan bahwa beberapa hari bakda itu, aku akan berjalan sedikit mengangkang, namun… lebih dari itu. Menangis tak berbunyi aku bila membayangkan air muka lelaki—yang suatu hari nanti mengawiniku—di malam pertama kami (di bawah lampu kamar yang bercahaya remang).

***


Bertambah masailah aku ketika suatu hari kau menanam tebu di bibir. Kau tak hanya, dengan lembut dan syahdu, mengatakan (sekaligus memuji); hidungku bangir, wajahku bulat telur, bibirku merah penuh, kulitku putih rotan, mataku kilap-kelereng, alisku semut yang berbaris, rambutku sutera-hitam, daguku lekuk-mangga, bahkan telingaku kaukias bak cawan Persia. Aku luruh. Aku tahu, kau tak menuang air hingga tumpah. Kau menyampaikan yang sebenar. Ayahmu yang sudah empat kali naik haji saja sering “nakal” padaku. Beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel. Beberapa kali pula ia mencoba menciumku—namun selalu gagal karena derap langkah ibumu keburu menyambangi.

“Kau bersyukurlah kami pungut di tepian rel dulu. Sekarang nak bertingkah kau!” hardiknya ketika aku menghindari cengkeramannya di pinggangku.

Ayahmu juga sangat pandai mengganti muka. Di depan ibumu ia bagai singa yang sedang memerintahkan musang menyeret ayam. Bila aku lamban atau bahkan tak melaksanakan apa-apa yang dititahkan, maka aku akan dirajam. Demikian istilah yang sering dipakai keluargamu bila aku dirundung kesialan. Ya, selain keluargamu, tak banyak yang tahu (atau bahkan memang tak ada yang tahu) bahwa ayahmu seringkali merajamku dengan pecut kuda yang disimpan di kolong ranjangnya, bila aku kedapatan melakukan hal-hal yang tak berkenan di hadapannya dan ibumu. Walaupun tidak melakukannya dengan cambuk-maut itu, ibumu tak kalah ganas. Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking-rajamkan ke arahku. Kau tahu, bakat biru di bahu belakangku adalah bukti yang paling makbul atas guci China dan tatakan piring keramik Turkmenistan yang ia pecahkan ke tubuhku. Kau tahu, sejak itu, aku selalu tidur dalam keadaan telentang. Sedikit saja kumiringkan tubuh—karena tiba-tiba ingin memeluk guling misalnya, tulang belakangku serasa bersigesek. Linu yang menyayat.

Dan… kau bagai mengimani peribahasa yang tampaknya tak bercelah: orang tua adalah guru berteladan yang mustajab.

Ya, kau kerap menjambak rambutku bila telur mata sapi kegemaranmu tak kugoreng seperti yang kau inginkan. Kuningnya terlalu masaklah, putihnya terlalu keringlah, minyaknya masih berlumuranlah…. Namun kau sangat berbeda dengan orang tuamu. Rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku bersicepat dengan denyut nadi dan geletar jantung. Kau biasanya menyeretku ke sudut dapur yang jauh dari imbas cahaya pir kuning yang menjuntai di plafon. Melumat bibirku, menggigit-geli leherku, menjilat lekuk telingaku…. Kau melakukan semua dengan tangan yang sigap membuka kancing-kancing baju-katunku. Seolah kau benar-benar hafal bahwa jarak masing-masing pengait baju itu adalah 12 sentimeter. Tapi… kau tak melakukan (atau meminta) lebih jauh. Kau kerap berhenti ketika aku mulai menikmati rajamanmu.

“Percayalah, aku bukan iblis. Aku hanya pemuda biasa yang tak dapat menyembunyikan naluri lelakinya. Percayalah, kau bagai bidadari saban habis mandi. Dan aku takkan menghamilimu hanya karena itu. Aku hanya ingin bercumbu dengan perawan di malam pertamaku. Dan itu adalah kau….”

Aku diam. Terharu. Bangga padamu—bakal suamiku (benarkah?!). Lalu meradang dalam bayang kesedihan yang siap tumpah demi membayangkan malam-sakral itu tiba suatu waktu.

Tapi… oh, seperti yang kaukatakan. Kau adalah pemuda biasa. Hanya ditambah beberapa kelebihan: tampan, kaya, berpendidikan, dan (jujur kukatakan) menggoda. Pada suatu malam yang mendung, ketika kedua orang tuamu berhelat ke kampung sebelah, memenuhi undangan hajatan kawan lama, kau kembali merajamku. Tapi bukan karena aku tak menggoreng telur ayam itu dengan baik. Kau merajamku karena kau pemuda biasa—katamu dulu, pemuda yang memiliki naluri kelelakian (atau kebinatangan?!). O sungguh, harus jujur kukatakan, aku juga bagai terasuk setan-binal malam itu. Bila kau memintaku menumpahkan isi telur di kuali, aku akan melakukannya serampangan. Bahkan, akan kunaikkan putaran gas hingga api menyala sejadi-jadinya. Akan kuhidangkan telur pekang, gosong-arang! Ya, aku ingin kau menghukumku. Merajamku!

Dan kau melakukannya tanpa ada pasal telur goreng itu. Tapi tak seperti biasa, kali ini kau meminta lebih. Tentu saja, aku menolaknya. Bukan, bukan karena tak yakin kau akan bertanggung jawab (entah, aku begitu percaya padamu bahwa kau takkan menyia-nyiakanku), tapi karena kau belum meyakinkanku apakah ayah-ibumu akan bersetuju dengan pilihanmu; seorang pembantu tanpa orang tua dan sanak saudara.

Kau bagai membaca kegundahanku. Kau katakan betapa istimewanya dirimu. Siapa yang berani menolak permintaan anak tunggal?! Sungguh cantik kau meliuk lidah. Ya, kau tak menanyakan mengapa aku berani menolak permintaan seorang anak majikan. O, betapa ketika itu kau menguapkan sikap yang meluluh-lantakkan tembok pertahananku.

Menanglah kau! Aku gelap-pikiran. Aku tak tahu bila tebu di bibirmu sebentar lagi akan ditebas (dan hilanglah gulali itu tak lama kemudian!). Aku hanya membayangkan betapa gadis sebatangkara sepertiku akan menjadi bagian dari keluarga terhormatmu. Ohhh….

Namun, kenyataan bersibelakang dengan ramalan. Kau mulai mengganas. Kausingkap kain lasemku. Dan… berserempakan dengan petir yang bergemuruh jauh, dan air langit yang bersitumpah satu-satu; mukamu keruh seketika!

Kau mendorongku hingga terjerengkang. Kau kenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Kau tuding aku sundal. Kau tak memberiku kesempatan untuk mengurai sebab-akibat….

Tengah malam, kutinggalkan rumahmu. Memapas jalan-jalan kelam kampung yang lengang….

***

Sedari pagi, aku memang tak sabar menyambut malam. Di antara kerumunan tetamu, kusaksikan bagaimana ijab-kabul dilewati tanpa hambatan. Sejak duha hingga bakda asar, orkes melayu mengoar-bingar panggung dan seantero kampung. Kalian bagai menginjak-injak luka-lebamku. Dan, bakda isya, aku menuju kediamanmu. Dari balik jendela, kuintip orang tuamu menghitung isi amplop yang diterima, para keponakan yang bersuka-ria menyobek bungkus kado-kado yang menyerak di kamar depan, beberapa tamu jauh yang tak henti memuji keserasian kalian….

Malam pun meninggi. Sedikit saja jarum jam yang lebih panjang tergelincir, maka hari akan bernama baru. Lamat-lamat aku menyelinap. Kalian lupa bahwa aku sangat paham leliku rumah besar itu. Aku segera menuju kamar bergorden merah jambu dengan beberapa tangkai anyelir menyelip di kaitannya. Syabas! Begitu mudah kukuak pintu kamar. O o, aku datang di waktu yang gemintang. Kalian baru akan memulai ritual wajib pengantin baru. Aku berdoa dari balik pintu, semoga selangkangan gadis itu berkembar-nasib dengan selangkanganku.

O, apakah benar yang kulihat? Kau menggumulinya dengan lunas. Apakah gadis itu masih perawan? Atau… kau tak peduli lagi perihal darah yang muncrat di antara bonggol paha itu? Puihhh!!!! Laki-laki pembual, kau!

Maka, ketika kalian lelap oleh lelah yang memuaskan… kusambangi ranjang harum melati itu. Kusingkap kelambu. Kutatap kalian satu-satu. Kubersijingkat menaiki ranjang. Sangat hati-hati, hingga tanpa bunyi derit. Aku kini sudah mengangkangimu. Ups! Setengah meloncat aku membebankan tubuh di atas perutmu….

***

Aku terkakak hingga air mataku menyeruak. Kedua bola matamu mendelik sempurna ke arahku. Kurajam kau kini! Kucekik lehermu sejadi-jadinya. Kau mengejang. Aku makin terbahak. Pun ketika perempuan di sampingmu terjaga. Ia menyangka kau tengah mengigau. Mimpi buruk.

Sejak kapan mimpi buruk bertandang di malam punai, hah?! Perempuan bengak!

Perempuan itu menarik-narik kedua tanganmu yang memegangi leher—seolah kau tengah melepaskan cengkeramanku yang memelintir tonggak kepalamu. Mana bisa?! Mati kau?!

Perempuan itu berteriak ketakutan. Keluarga dan sanak-kerabatmu menggedor-gedor pintu yang masih terkunci. Tak lama, mereka mengerumunimu. Berteriak sejadi-jadinya. Ya, siapa yang tak meradang ditinggal mati anak-bujang seorang?!

***

Aku masih tertawa ketika, di antara sikaduduk yang menyemak di sudut pemakaman umum, tempat akan digalinya liang untukmu, orang-orang menemukanku teronggok dikerumuni belatung. Beberapa bagian tubuhku ditutupi bahan katun, kain lasem yang buram coraknya, dan tentu saja tali tambang yang masih bergelung di tengkorak kepala. Itu adalah tali yang kuambil dari dapurmu di malam aku meninggalkan rumah itu. Kukaitkan di dahan beringin yang paling besar; demi beroleh restu ayah-ibu untuk merajammu malam tadi.

Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Sihir Tumis Ibu

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...

REVIEW NOVEL THE TIRD TWIN OLEH KEN FOLLET


cover novel The Tird Twin

Seorang laki-laki memiliki fantasi liar dalam hubungan sex. Dia selalu mendamba hubungan intim dengan cara kekerasan. Untuk menjalankan khayalannya dia menyamar sebagai security dengan memanfaatkan ruang ganti perempuan di Universitas Jones Fallen. Dengan cerdiknya rencana berjalan sesuai imaginasi. Gadis-gadis berteriak keluar begitu asap mengepul. Sedangkan Jennie sementara mandi segera berpakaian dan lari keluar ruangan. Sahabatnya Lisa tidak diketahui bagaimana keadaannya.

Perasaan Jennie resah tidak dapat menemukan Lisa. Saat semua orang sudah diluar hanya Lisa yang tidak dapat dia temukan. Pemadam kebakaran sudah mengecek di dalam sama sekali tidak ada lagi orang. Akhirnya, Jennie menemukannya lewat pintu darurat. Dalam keadaan terpuruk akibat kekerasan seksual dan diperkosa.

Karena orang-orang yang meminta keterangan Lisa tidak menunjukkan simpatik sama sekali. Dia memutuskan mencabut tuntutan. Keesokan harinya setelah diganti dengan sipir perempuan, Lisa memutuskan ingin melanjutkan proses penyelidikan.

Jennie yang berusia 29 tahun sedang melakukan penelitian di universitas Jones Fallen. Di waktu yang sangat tepat dia butuh pelarian karena diputuskan pacarnya demi perempuan yang dia sebut berotak kosong. Sementara berbicara dengan subjeknya, Steve tidak menyangka bertemu dengan Jennie. Wanita yang membuatnya terpukau lewat permainan tennisnya.

Jennie, sebetulnya aku kemari untuk mengatakan bahwa memutuskan hubungan denganmu adalah kesalahan paling besar yang pernah kubuat dalam hidupku.

Will tidak berengsek sebetulnya. Dia cowok yang baik. Dia cuma jatuh hati pada orang lain. itu saja. Menurutku dia kurang perhitungan dalam menentukan pilihannya. Kan kami belum menikah. Dia tidak melanggar apa-apa. Daia bahkan tidak pernah menghkhianatiku, kecuali mungkin sekali atau dua kali, sebelum dia menyingkapkan hal itu padaku.

Berkat alat yang sedang dia kembangkan. Diluar prakiraan Steve pun tidak menyangka. Jika hasil analisa Jennie menyatakan Steve memiliki saudara kembar identik. Kabar buruk menghampirinya. Seharian menganalisa Steve, yakin sama sekali tidak ada kesalahan. Dan tidak mungkin pula terjadi kesalahan pada alatnya. Namun, keadaan memperjelas ibu Steve mengatakan, dia yang mengandungnya dan sama sekali tidak memiliki saudara kembar.

Kejadian lain menimpa Steve, dia dituduh sebagai pelaku pemerkosa Lisa. Jennie tidak percaya, karena seharian mereka bersama sama sekali ada tanda-tanda dia memiliki prilaku sebagai kriminal. Steve yakin ini haya salah tangkap. Tapi, begitu Lisa datang diminta menunjuk siapa pelakunya. Ternyata tetap Steve harus jadi tahanan. Bahkan harapan satu-satunya menunggu hasil tes DNA, dia tetap terbukti sebagai pelaku.

Kau ingat apa yang dikatakan Sherlock Holmes? Setelah berhasil menyisihkan semua unsur yang tak mungkin, yang tinggal meskipun kedengarannya tidak masuk akal adalah kebenarannya, atau Hercule Poirot yang mengatakan itu?

Semakin banyak kau tahu semakin berbahaya posisimu. Ini menggambarkan keadaan Jennie. Dia menemukan sesuatu yang tidak seharusnya dia tahu. Tiga orang berpengaruh di negaranya memiliki rahasia yang sudah disimpan selama 22 tahun. Satu persatu ditemukan lelaki yang memiliki wajah yang mirip dengan Steve, bukan hanya wajah, prilaku penyimpangan sex, agrresiv, warna rambut, bahkan DNA mereka sama. Tapi, semuanya dilahirkan di waktu yang berbeda, dan di rahim yang berbeda.

Saya tidak akan menceritakan lebih banyak lagi. Akan lebih nikmat jika membacanya sendiri. Cerita yang 640 hlm, jujur ini kisah yang berhasil membuat saya begadang karena kepiawaian penulis merangkai plot, diksi, membuat tidak sabar ingin mengetahui kelanjutan cerita. Penulis berhasil memancing untuk terus menggali satu persatu petunjuk.

Ada banyak ketegangan dalam cerita. Cara mendeskripsikan keadaan sangat bagus hingga kita benar-benar merasakan ketegangan, takut, dan khawatir yang diciptakan penulis. Terlebih ini masalah yang sensitive. Tentang prilaku kriminal sex. Factor lainnya, mungkin karena saya perempuan.

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga novel Ayat-Ayat Cinta

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...

REVIEW NOVEL THE BEST LAID PLAINS OLEH SIDNEY SHELDON


cover buku Rencana paling sempurna
image
Disaat Leslie memilih menyerah untuk berharap mendapatkan seorang pendamping hidup. Namun, kenyataan dia bertemu dengan Oliver, calon suaminya. Pertemuan mereka diawali dengan Oliver membutuhkan jasa Leslie untuk kampanye sebagai calon Gubernur. Disayangkan suara untuk Oliver semakin merosot, akhirnya orang-orang yang dulu memberi sponsor mundur. Tapi, Leslie tetap membantu semaksimal mungkin dan berusaha membantunya agar tetap bertahan sebagai calon Gubernur. Hubungan mereka semakin dekat, Oliver dan Leslie memutuskan untuk menikah.

Seminggu pernikahan Oliver keluar kota ada urusan pertemuan. Hingga mendekati hari resepsi Oliver masih tak ada kabar. Leslie menduga-duga keburukan apa yang menimpanya, mungkin kecelakaan. Lewat telepon kabar dinanti datang juga. Seorang wartawan menghubunginya, menanyakan pendapatnya tentang pernikahan Oliver dengan Jann. Merupakan putri dari senator Davis, yang akan banyak memberi bantuan mencapai kedudukannya. Banyak media menyorot Leslie, terlebih undangan sudah di sebar, terpaksa hadiah di kembalikan dan dia meminta maaf. Dengan elegan, Leslie menjawab pertanyaan media tetap mendoakan mereka semoga bahagia, dan merasa wajar saja Oliver bersikap demikian mengingat Jann adalah mantan kekasihnya. Saat Oliver dan Jann kembali ke Kentucky mereka akan menikah kembali di gereja yang seharusnya Oliver dan Leslie menikah.

Sejujurnya Oliver sempat ragu, karena Leslie wanita yang baik, dan benar-benar mencintainya. Namun keterlibatan senator Davis yang membujuknya akan mempelancar proses menuju pencalonan sebagai Gubernur, akhirnya Oliver tergoda. Tergoda dengan kedudukan dan uang. Leslie mampu tegar di depan kamera dan baik-baik saja, tapi dia tetap memiliki rencana untuk membalas perlakuan Oliver. Leslie meninggalkan Kentucky dan tinggal di Poenix. Dengan rencana mendekati seorang pria kaya dan cukup tua. Dalam kurung waktu enam bulan mereka harus menikah, di luar dari target hanya dalam dua bulan dia berhasil mendapatkannya. Tidak lama setelah menikah, suaminya meninggal. Itupun akibat penyakit yang diderita. Leslie yang cerdas, percetakan surat kabar yang dimiliki suaminya berhasil dikembangkan, dan bahkan telah membeli stasiun TV.

Kedudukan Oliver semakin melejit. Bersama senator Davis yang membantunya, dia mengejar posisi gedung putih. Dalam sehari mengadakan kampanye di beberapa daerah. Hingga hari pemilihan dia behasil mendapatkan apa yang diincarnya.

Leslie tidak kalah melejitnya dengan Oliver. Namanya semakin tenar. Dia berhasil menguasai berbagai media terbaik dan terbesar. Dengan satu misi, ingin menyerang Oliver walaupun sudah menduduki gedung putih.

Ada beberapa bagian dalam cerita ini akan membahas keadaan di Sarajevo saat terjadi peperangan. Salah satu reporter dari media yang telah dibeli Leslie berada di sana. Disinilah bagian mengganjalnya cerita ini. Dana, salah satu tokoh dalam cerita, yang saya pikir akan banyak berpengaruh dan terhubung dengan dua tokoh utama Leslie dan Oliver. Kenyataannya jika pun tanpa membahas lebih banyak tentang Dana tidak akan mengganggu apa yang akan terjadi dengan cerita bagian Oliver dan Leslie. Padahal Dana tokoh figuran tapi memiliki bagian yang komplit.

Endingnya…. Bahagia tapi tidak adil, menurut pandangan saya. Jadi agak kecewa juga dengan ceritanya. Padahal dalang pembuat masalah disini adalah Oliver, tapi penulis membuatnya hidup bahagia. Sedangkan Leslie menjadi semakin buruk. Seharusnya penulis menunjukkan akibat dari perbuatan Oliver. Jadi seimbangkan Leslie dan Oliver mempertanggung jawabkan perbuatannya.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...

CERPEN KOTA RAWA OLEH RAUDAL TANJUNG BANUA


kota rawa
Image Richard Wright
Di dunia yang diliputi bintang khayal, kabut imajinasi, nama-nama dan impian, tak semua kenyataan lahir dari bayangan, sebagaimana tak semua bayangan lahir dari kenyataan. Kita hidup di dunia ketiga dari matahari1, demikian Bob Perelman dalam sebaris sajak yang tak kepalang menghentak.

Entah kenapa, ia meletakkan khayalku di antara malaikat dan kurcaci. Nomor tiga. Kita bisa saja menghitungnya dari Merkurius, di mana bumi memang terletak di urutan ketiga dari matahari. Tapi sejak bertahun-tahun lalu, orang-orang dari negara maju menganggap dunia ketiga itu identik dengan kemiskinan, dunia sedang berkembang. Jadi antara sebutan dan kenyataan bisa berbeda, kadang tak terduga.

Itulah yang kurasakan ketika perlawatan membawaku ke sebuah kota yang tak pernah kubayangkan, namun kemudian kutapaki dengan mesra. Aku tiba mula-mula dengan hasrat ingin melihat kerbau kalang atau kerbau rawa. Di Banjarmasin kudengar kabar kalau kerbau rawa digembalakan di hamparan rawa yang luas bernama Danau Panggang, terletak di Hulu Sungai Utara hingga selatan. Di sana dibangun kandang-kandang kayu yang disebut kalang, lengkap dengan rumah pengembala, menjadi semacam atol di tengah vegetasi rumput yang menghampar hingga ke batas cakrawala.

”Sebenarnya itu bukan danau, tapi rawa menyerupai danau,” kata Agus Suseno, sahabat yang biasa mangkal di Taman Budaya dan akrab kami sapa ”Tukang Kebun”. Dari si ”Tukang Kebun” aku mendapat pelajaran pertama tentang kemungkinan rawa sebagai ”dunia antara”; bayangan yang memproyeksikan diri dan kenyataan. Danau, tapi bukan danau, tak sepenuhnya air tapi juga tak sepenuhnya tanah; air campur lumpur, semacam deru campur debu2. Antara air dan tanah, sungai-darat, laut-muara, terbentang wilayah ”terra cognita”, paya-paya lembab basah. Tak heran, aku menemukan istilah-istilah yang merangsang minat kemudian: nelayan rawa, sunset rawa, ikan rawa, taman rawa dan… kota rawa!

***

YA, kota rawa. Ke sanalah aku dipertemukan, bersama Hajrin, sahabat yang mencintai puisi sebaik ia mencintai politik. Kami naik mobil kesayangannya, opel gardan ganda yang cocok belaka dengan alam dan jalanan Kalimantan. Tak lupa kami singgah di makam mursyid Arsyad Al-Banjari di Kalampaian yang penuh bunga melati dijajakan ibu-ibu di pinggir jalan. Usai berdoa sambil menyaksikan orang-orang sakit yang mengaduh memohon kesembuhan, kami melanjutkan perjalanan. Karena bertujuan ke daerah rawa, kukira kota terakhir adalah Kandangan, kota kecil pelintasan di kaki Meratus, terus ke pedalaman. Setelah itu rawa tak bertepi. Tapi ternyata tidak.

Ketika melewati seutas jalan yang ditinggikan di antara hamparan rendah gambut, sempit dan berdebu, dengan jembatan-jembatan kayu terbelintang sekadarnya, perlahan aku merasa sedang menuju ke suatu tempat yang berdenyut hidup. Hidungku mulai mencium bau perapian, bergalau dengan bau rawa yang masam dan rumput terbakar. Lalu rumah-rumah merapat ke tepi jalan. Serambinya nyaris menempel ke aspal yang mengelupas, sementara bagian belakang menjorok ke rawa-rawa, ditopang tiang kayu gelam, jenis kayu paling ajaib di bumi; makin kuat tiap terendam. Ukurannya tak besar, sehingga jika saja ia mengarah ke atas maka akan tampak seperti tali-temali yang menggantung rumah-rumah itu di udara.

Di celah semak dan gelagah liar, terlihat perahu-perahu terikat di tiang, sebagian melaju dikayuh orang-orang bercaping lebar. Merekalah para nelayan (nelayan rawa!) yang hidup dengan bubu, pancing dan jala. Perahu mereka sarat ikan (ikan rawa!) hasil tangkapan: pepuyu, aruan, baung, lais, sepat, dan entah apa lagi. Aruan atau ikan gabus, biasa dijual basah, sepat dan pepuyu dijual kering. Cara mengeringkannya unik, sebagaimana kulihat dijemur di atap dan tepi jalan. Ikan-ikan dibelah dan digarami lalu dirangkaikan satu sama lain sehingga tampak seperti lembaran kriya yang indah, mengingatkanku pada kulit lembu bahan tata sungging di Yogya.

Tapi tak semua rumah memajang ”kriya ikan sepat”, sebagian rumah dipenuhi aneka gerabah. Piring, cangkir, periuk, belanga, celengan, anglo, bahkan kloset. Meski glasirnya tak sehalus keramik Kasongan atau Minahasa, namun justru memunculkan gurat-gurat kekuatan manusia rawa. Semua dibiarkan seperti warna aslinya: merah cokelat kuning –warna lumpur tanah rawa, bukan merah tanah liat. Jenis buah-buahan diberi warna mencolok melebihi warna buah yang sebenarnya; rambutan anggur merah nyala, pisang-pisang kuning cerlang, mangga alpukat hijau terawang. Semuanya menggandoli dinding dan tiang. Aku menikmatinya dari kendaraan yang tak bisa berlari kencang.

Kata Hajrin, orang sini juga ahli membuat baling-baling kapal dan alat rumah tangga dari aluminium, besi, segala baja. Jika orang Madura dikenal sebagai pengusaha besi tua, maka orang-orang rawa dari Hulu Sungai Selatan mengolah besi jadi apa pun. Di saat sama, mereka ahli mengolah segala yang lunak: lumpur, tanah, rumput, ternak, dan ikan-ikan…

***

Ki lama jalan kian sempit dan rumah tambah padat. Jalan yang menyusut, ataukah kampung yang mengembung? Seharusnya kami ke sini naik perahu, dan memang begitulah dulu kehidupan warga di sini, kata Hajrin. Sungai sebagai ”jalan utama” dicapai dari berbagai arah, langsung dari tangga rumah. Air membawa mereka pergi lebih jauh ke hulu atau kuala. Hajrin tahu banyak kehidupan di sini karena ayahnya salah seorang manusia rawa yang sukses berdagang kayu, dan ketika kayu surut ia membuka gudang sewaan di Surabaya. Sebelumnya ia punya kapal dagang pemasok kebutuhan pokok ke pedalaman. Jalan raya kemudian dibuat, meski seadanya, sebagaimana yang kulihat, tapi cukup membelah dunia air, seperti tongkat Musa. Perahu dan kapal-kapal kian semu, seolah dalam pusaran sihir maya. Sebaliknya, bayangan ”dunia antara” makin kentara; antara air dan darat – yang cair dan mengalir, yang keras dan mampat!

Bagaimanapun jalan inilah yang mempertemukanku dengan sebuah kota di atas rawa; bukan dengan bim salabim tongkat Musa. Ditandai derak roda melewati jembatan panjang berlantai kayu tebal di atas Sungai Alai, mataku lalu tertumbuk menara dan kubah Masjid Jami’ Ibrahim. Warnanya kuning kecokelatan seolah memantulkan warna sungai, dan sungai memantulkan kubah-kubahnya. Di samping masjid, pasar yang ramai. Lembaran ikan kering tampak digantung dan ditumpuk; ikan-ikan yang hidup menggelepar dalam baskom. Juga unggas yang dikandangkan. Itulah belibis yang banyak hidup di rawa, sekilas menyerupai itik-itik gadis-belia, konon dagingnya lebih enak.

Masjid dan pasar menjadi titik koordinat geliat kota, dari mana sambung-bersambung rumah-rumah kayu dan bata, lalu memecah mengikuti simpang jalan, disambut rumah-rumah lanting di air tenang. Di bawah jembatan Andi Tajang yang berderak setiap saat, batang-batang bambu yang dialirkan dari Loksado, terapung-apung menunggu diangkut ke darat. Dekat situ ada dermaga kecil di mana perahu nelayan merapat menurunkan ikan tangkapan, termasuk lobster sungai. Perempuan-perempuan perkasa menjunjung baskom di kepala, membawa ikan dengan gembira. Pakaian mereka kuning keemasan, disepuh riak cahaya. Sedikit ke kiri, terdapat satu jembatan lagi, tak kalah panjang, melintasi Sungai Nagara. Persis di pangkalnya tegak papan nama tua, nyaris tak terbaca: SMU Negeri Daha Utara.

O, aku telah bertemu kota yang menakjubkan di antara dua sungai, di atas rawa yang kukira tak akan bisa menerima arsitektur sebuah kota. Ajaib, Nagara, ya, kota kecil Nagara, ibu kota Kecamatan Daha, tegak penuh keyakinan di atas rawa yang kita tahu lunak goyah itu, dan karenanya tak bakal kekal. Tapi lihatlah, tegak ia menyambut apa pun, siapa pun, yang tiba: angin santer, panas siang, burung-burung migrasi, banjir, kanal-kanal lumpur, dan air bumi. Juga ketakjuban-ketakjubanku yang tak terpermanai.

***

BEGITULAH aku terdampar di Nagara-Daha. O, bukan terdampar, sebab ia lunak dan airnya membawaku ke mana saja, menyentuh apa yang tak tersentuh, mencium segala bau. Lumpur yang menguarkan aroma kampung halaman. Getah rumput beraroma tajam. Datanglah angin, mula-mula pelan semilir, mengangkut aroma masam, menerbangkan bulu-bulu belibis dan itik-itik di pematang. Tapi lebih sering angin santer, memukul-mukul kusen dan jendela, menggeriapkan rumput dan gelagah.

Di tepian, di antara rumah-rumah lanting dan jamban, bersandar kapal-kapal ke pedalaman. Memuat dan menurunkan barang, lalu angkat jangkar, untuk pergi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Adakalanya mereka kembali berlabuh pada bulan Ramadan, lantaran jauhnya jarak tempuh ke kota-kota air yang menunggu: Kuala Kapus, Muara Teweh, Puruk Cahu, Tanjungkulan, dan kota-kota lain yang tak tercatat. Sementara di hamparan rawa, air membangun jalur-jalurnya sendiri di antara gelagah, seakan mencari celah dari pepatnya vegetasi paya. Jalur-jalur itu saling bertemu dan memisahkan diri membentuk persimpangan ke berbagai arah, ke kota-kota kecil di tepian rawa, atau kampung terdekat. Marabahan, Amuntai, Alabio, Babirik, Pandak Daun, Sungai Pinang, Habirau dan Bayanan. Atau tidak ke mana-mana, hanya melingkar dan berujung pada sebuah kandang.

Menyusuri rawa di atas kapal kecil yang disebut klotok, sebagaimana kulakukan kemudian, aku terceguk suasana ngelangut. Dinding-dinding rumah berderet membelakangi sungai, menguning disepuh cahaya matahari. Melihat kota dari luar, dalam gerak kapal yang merentang jarak perlahan, lain sekali rasanya dibanding melihat dari dalam, menyusuri jalanan. Diriku seperti bertolak, namun sembari merengkuh semua dinding, semua kubah dan dermaga. Bila aku berada di dalam, kotalah yang merengkuhku lewat jalan-jalannya berdebu, seolah jari-jemari tak dikenal membekapku hingga sesak.

Di Baruh Kambang, klotok membelok ke jalur yang dipenuhi galah-galah bambu dan keramba. Seperti di perumahan, jalur itu dipasangi portal kayu. Seorang nelayan di atas perahu bergegas membukanya. Kecipak dayungnya campuran air dan lumpur. Julak Ahim, tukang klotok yang kutumpangi, melambaikan tangannya. Ia dan nelayan itu saling sapa dalam bahasa Banjar, kadang kudengar seperti tutur bahasa Sunda. Dari sang julak yang artinya paman, aku tahu jalur-jalur rawa memang dijaga nelayan atau penggembala.

Klotok kini melaju di antara rumput yang memanjang. Teratai dan eceng gondok yang mati-layu hanyut menuju sungai. Sekilas seperti sesaji alam, mengingatkan zaman Kuripan. Yang hidup memunculkan bunga-bunga segar, di mana kawanan bangau terbang berputar-putar lalu hinggap mengerkap katak, udang dan ikan-ikan. Maut dan kehidupan jumpalitan di sebalik rumput dan bunga liar. Di taman rawa yang pesonanya tak ditemukan pada taman-taman lain di dunia, keliaran menjadi aura yang mewarnai jagad raya. Di alur lumpur, belibis-belibis berbaris mandi, persis itik yang digembalakan, sebagian terbang menggaris cakrawala.

Yang menakjubkan, di tengah rawa kami tak hanya bersua nelayan pencari ikan, dengan galah dan tangkai pancingnya seolah menggores bola bulat matahari, tapi juga penggembala yang tinggal bersama kerbaunya di atas kalang. Sejenak mengingatkanku pada bagan atau jermal yang dibuat nelayan di tengah laut, dari bambu dan batang nibung. Kerbau-kerbau dilepas pagi hari, berenang menyusuri jalur air untuk mencapai hamparan rumput, dan sorenya pulang sendiri ke atas kandang.3

Jika musim hujan tiba, jalur-jalur kecil ini akan lenyap ditutupi air yang menghampar rata dengan sungai, sehingga hanya gelagah dan rumput-rumput lampai panjang yang kelihatan. Saat itulah rawa berubah jadi danau, kerbau-kerbau dipasok pakan, rumah-rumah di kampung membiarkan separo tiangnya terendam. Bila air surut, rumput bertambah hijau, tiang-tiang kemilau, dan begitulah segala sesuatu secara pantas mengekalkan dirinya di bumi paya-paya lunak kekal ini. Di kejauhan, membubung asap pembakaran, ramping menggurat kaki langit dengan kelembutan cahaya petang. Seseorang mungkin sedang berladang, menerabas rumput, membersihkan lahan. Memang, rawa yang kering biasa untuk bertanam palawija. Di musim hujan, lahan yang sama tempat keramba. Berkah rawa sepanjang masa!

”Asal jangan ditanami sawit, sebab mengubah rawa jadi lahan kering selamanya,” kata Julak Ahim. ”Kami menolak perusahaan sawit masuk kemari. Dari Masjid Jami’ kami naik truk ke kantor bupati di Kandangan menuntut pembatalan izin.” Wajah julak basah keringat. Aku mengacungkan jempol tanganku, meski tahu semua menunggu waktu.

Kembali kulayangkan pandang ke kejauhan. Asap yang menari, kian sayup ke arah Alabio. Itu kota kecil lain di tepi rawa yang terkenal dengan itik dan tikar purunnya. Juga pintu masuk Muhammadiyah pertama kali ke tanah Banjar. Ke utara sedikit, Kota Amuntai, tempat kerajaan Banjar Siwa-Budha pertama bernama Kuripan, sebelum pindah ke Nagara-Daha ini. Seorang kawanku pernah bercerita mengenai sepasang anak muda, cucu keturunan opsir Belanda. Mereka datang ke ibu kota Hulu Sungai Utara itu mencari bekas rumah opanya. Berbekal selembar foto saat si opa bertugas di sana. Dan rumah itu masih ada, berdiri dengan sedikit perubahan di tepi sebuah jalan. Begitulah mereka menjaga sejarah dan silsilah: datang ribuan mil menyusuri jejak leluhur.

Aku berpikir: jika rawa-rawa ini kelak dikuasai perusahaan sawit, adakah jejak dan kenangan bisa dikekalkan? Aku pejamkan mata, merapal doa yang sama saat kudawamkan di makam Syekh Arsyad di Kalampaian.

***


Tak puas menyusuri kota ini sehari-dua, aku turuti kehendak hati mengenalinya barang setapak lagi, meski kutahu, semakin didalami semakin hatiku tak sanggup merengkuhnya. Dari rumah bibi Hajrin tempat kami menginap, aku susuri tepiannya yang lembab, bertemu jalan-jalan kecil kering berdebu, mengular ke hamparan lain yang lebih kerontang di mana bahkan rumput tumbuh seperti di atas batu, di bakar sepi4. Antara yang kering dan yang basah hidup berdampingan di sini: tepian, rumah-rumah lanting, rumah-rumah bata, geletar mesin klotok, deru kendaraan, berbaur simpang-siur, di persimpangan. Selain titik koordinat masjid dan pasar yang menandai geliat darat, sesungguhnya ada koordinat bayangan di air yang tidak saja memantulkan wajah kota sekarang, juga masa lama berselang.

Itulah titik pertemuan dua sungai besar: Nagara dan Alai –lazim disebut ”tumbukan banyu”. Titik yang telah menumbuhkan kota dalam rupanya yang azali dan jejaknya hidup dalam mitos abadi. Jika di Jawa dikenal ”kali tempur” tempat keramat ritual kungkum, di Daha, Putri Junjung Buih, permaisuri Pangeran Suryanata, raja termasyhur orang Banjar, diyakini muncul di tengah arus pertemuan itu. Bersama Lambung Mangkurat, patih sakti penuh martabat, raja meletakkan pancang pertama Nagara-Daha.

Sukar dibayangkan bagaimanakah berabad lalu membangun ibu kota di atas tanah lunak berlumpur? Bagaimanakah tiang-tiang istana ditegakkan dan taman-tamannya dirancang? Adakah dulu bukan rawa melainkan hutan raya hingga ke kaki Meratus sana?

Entahlah. Semua mesti dicipta ulang. Hidup menuntut manusia membangun kota di mana pun, kadang seperti di luar kesanggupan. Dari pegunungan hingga lembah yang dalam, di karang batu hingga ke pantai tersembunyi, di rawa dan kanal-kanal, di gurun, bahkan bawah tanah. Telah kubaca kota-kota dari lumpur dan debu seperti Jaipur di India atau Timbuktu di Sahara; kota di atas payau seperti Bagan Siapi-api di Riau; kota-kota air di sepanjang Mahakam dan Barito, kota-kota kecil berdinding batu di pegunungan Sewu. Tapi baru sekaranglah aku temui sebuah kota di atas rawa. Di atas, bukan di tepi-tepi, seperti Tamban dan Bati-bati yang pernah kutemui dengan hanya sebelah dindingnya menghadap paya. Di Nagara, sebelah-menyebelah, semua dinding semua pintu, menghadap ke rawa yang sama karena tegak dalam kepungan rumput, eceng gondok, gelagah, dan teratai-teratai ungu.

Kudengar azan dari Masjid Jami’ Ibrahim. Merdu. Aku berbelok. Kubasuh muka dan ragaku. Kudawamkan lagi doa di Kelampaian, lalu masuk. Di dalam masjid peninggalan Tuan Guru dari abad ke-17 itu, kulihat sebuah kubah kecil terletak tepat di bawah cungkup kubah utama. Bentuknya persis, kecuali warnanya yang dibuat hijau. ”Kubah dalam kubah,” bisik Hajrin yang tiba menyusulku,”Ini uniknya masjid habib.”

Sebagaimana si ”Tukang Kebun”, dari Hajrin aku dapatkan pelajaran berikutnya sebelum pulang. Tentang spiritualitas ”dunia antara”; bayangan dan semesta saling memproyeksikan diri, membuat segala sesuatu menjadi ada. Sungai memantulkan kubah maya di kejauhan, lantai dan dinding-dinding meniru kubah utama di kedalaman, dekat dalam dekapan. Dan di sisi bayangan kubah sejati itu kulihat sang muazin tersenyum padaku. Dialah Julak Ahim. Paman yang mencintai rawa sebaik ia mencintai kubah dan tiang-tiang kotanya.

***

Di sebuah kedai aku berhenti, memesan kopi pahit sambil merenungkan perjumpaanku yang sengit. Kakiku terasa masih berdenyar, aura kota merasuk tak hanya lewat mata, juga aliran darah yang membuatku teleng. Telah aku tapaki ia dengan hati-hati dan leluasa, sesuai kontur tanahnya yang lembab-basah, namun kerontang pada bagian tertentu. Bunga-bunga kering perdu, teratai-teratai basah ungu, jadi penanda ”dunia antara” yang kuangan dan kujumpai.

Kedai ini menghadap rawa dan tepian sungai, o, tidak, padang rawalah yang justru mengepungnya dari segala sisi. Di malam-malam tanpa bintang, kubayangkan rawa-rawa menyeringai seperti habis mencekik dua sejoli dirajam sepi5. Ah, aku mulai ngelantur lantaran pertemuan ini melebihi fisik. Ia menyentuh juga ingatan masa laluku. Dulu, ada sebentang rawa yang memisahkan kampungku dengan pantai. Itulah wilayah misteri tak teraba; sarang yang nyaman bagi nyamuk malaria, ular, lintah dan kura-kura. Juga jenis pohon pemangsa disebut kayu angeh; getahnya melepuhkan kulit hingga memar sampai ke daging. Tak seorang pun berani melintasinya. Untuk ke pantai orang harus memutar jalan ke muara. Sungguh pun begitu, vegetasi rawa dengan semak dan rumput hijau, cukup buat penggembala menghalau kerbau di tepi-tepi. Tak lebih. Di tengah, rawa tak ubahnya pasir hisap, membenam yang terperosok, mencekik tiap yang bergerak.

Itulah yang terjadi ketika suatu hari kerbau Pak Pili yang hamil tua tergoda rumput lebih hijau di bagian tengah, dan terperosok! Kerbau itu melenguh dengan mata mendelik serta kaki menggapai-gapai. Tentu saja tak mendapat pijakan karena jauh di bawah hanya air dan lumpur, bagai sumur tanpa dasar 6. Malahan makin bergerak, lumpur kian membenam. Hidungnya berbuih dan air hitam keruh mulai mengalir masuk. Kami sesama gembala mendorongnya dengan tongkat bambu, tapi ujung tongkat pun tak menyentuh apa-apa kecuali kecipak lumpur pekat. Pak Pili yang sedih dan putus asa malah mencambuk si ”Minah” –demikian ia memanggil kerbau kesayangannya itu– supaya berdiri, sia-sia.

Dan ketika si ”Minah” diam pasrah, saat itulah tubuhnya berhenti diisap bumi, sekarang gantian Pak Pili yang melenguh menangisi dua kerbaunya yang lenyap sekaligus: ”Minah” yang malang dan anaknya dalam kandungan. Sementara aku, untuk berhari-hari ke depan dibayangi hantu teror terkenang mata seekor makhluk tak berdaya, takluk tercekik paya-paya.

Dan berhari-hari pula aku menyaksikan pemandangan yang mengusik bintang khayal. Kerbau malang itu seperti kapal terdampar di sarang penyamun yang tak mengenal belas kasihan. Sekali waktu tampak seperti mahkluk purba terakhir menunggu punah, dengan lintah-lintah hitam gendut kemerahan berpesta mengisap sisa darah selagi maut menabungnya segobang-segobang7. Tapi bahkan ketika maut pergi, lintah-lintah tetap bersigayut, seolah lintah rawa tak hanya hidup dari darah, juga daging yang koyak. Di waktu lain, kulihat tanduk kerbau persis atap rumah gadang yang ditinggalkan; daging-dagingnya mulai berlepasan dan lengkung tulangnya menyumbul keluar; kuamsal sebagai dinding dan tiang-tiang, lapuk merana menunggu perantau pulang.

Kenangan masa kecil itu muncul menggetarkan ketika kulihat rawa yang luasnya tak kepalang ini. Lebih membuat gentar karena di tengahnya kutemukan sebuah kota! Nagara-Daha! Bertemu kota kecil di dalam hutan lebih mungkin membuatku tenang, sebagaimana jumpa pertamaku dengan Sungaipenuh di pedalaman Taman Nasional Kerinci Seblat. Setelah semalaman melewati Bukit Tapan, Sako yang lengang, dan jalan kubangan gajah, aku dapatkan Sungaipenuh dalam basuhan embun dan sepuhan cahaya pertama. Hatiku meriap, merasa siap menyentuhnya kapan saja. Tentu, karena selama ini aku merasa hutan di Bukit Barisan sebagai rumah sendiri tempat keluarga dan orang kampung membuka huma, tinggal berladang.

Aku juga terbiasa mendengar cerita tentang kota orang bunian, makhluk gaib di hutan, lebih ramai dan hidup, meski tak gampang terlihat mata telanjang. Satu-dua peladang yang tersesat konon pernah melihatnya, dan mereka terpesona hingga nyaris buta oleh cahaya dan kemilau rumah-rumah (ah, tentang ini lain kali saja kuceritakan!).

Kembali ke kota rawa, bagaimana mungkin aku juga tak ‘kan buta? Segala sesuatu tentang rawa tertanam abu-abu dalam jiwaku. Meski luasnya tak seberapa, rawa kampungku memberi kesan tentang dunia yang tak utuh, tak penuh, mustahil berpenghidupan. Hanya lumpur hitam, air keruh cokelat. Rumput dan belukar pepat. Akar-akar saling belit seolah hendak mencekik diri sendiri. Pohon-pohon berwajah aneh dijalari akar berduri. Di atasnya, elang berkuik dan gagak-gagak berkoak. Tapi rawa ganas itu lantas menemui ajal ketika tali bandar digali. Air di tiap lekuk berangsur surut-kering, ikan-ikan menggelepar, dan panas kemarau membuat bongkahan demi bongkahan. Garing. Lalu orang-orang menimbunnya dengan batu gunung, rumah-rumah merangsek tak kenal ampun. Dalam waktu singkat, rawa-rawa masa kecilku mengeras, angslup bersama misteri dan kenangan dangkal.

Tapi Nagara-Daha, lihatlah, didirikan dengan rawa masih basah, lumpur lunak berkecipak dan air menghampar seperti danau, bukan, seperti lautan! Tiang-tiang kayu gelam yang tak lebih sebesar lengan menopang struktur kota penuh keyakinan, tenang tiada goyah, melebihi beton, besi dan baja. Beton bisa retak, besi berkarat dan patah, baja melengkung dalam takdirnya, tapi kayu-kayu gelam makin kuat tiap terbenam; alot terendam payau dan paya-paya. Jika satu-dua mulai payah, tinggal menggantinya saat itu juga, cukup dengan paku dan palu, penghuni rumah paling perasa sekalipun tak akan tahu ada penopang hidupnya telah diganti. Begitulah, kayu gelam mengimbangi watak rawa yang rahasia: mengerkap tiap yang meronta, walau dalam diam. Namun dalam situasi demikian, perlahan kudengar percakapan samar Marco Polo dan Kaisar Kaum Tartar –dari buku merah dadu kesayangan:

”Kota-kotamu tak nyata. Mungkin tak pernah ada. Aku juga yakin kota-kota itu tak akan pernah ada lagi. Mengapa kau menghibur diri dengan fabel-fabel menggelikan ini?”

”Inilah maksud dari segala eksplorasi hamba: mengamati jejak-jejak kebahagiaan yang masih tampak sekilas…”

”Aku tahu kekaisaranku membusuk seperti mayat dalam rawa-rawa… Mengapa tak kau utarakan hal ini kepadaku? Kenapa kau berbohong kepada Kaisar kaum Tartar, wahai orang asing?”

”Ya, kekaisaran ini sakit, dan malangnya lagi, ia mencoba membiasakan diri hidup dengan penyakit kronis tersebut. Bila Baginda ingin tahu betapa kegelapan ada di sekeliling paduka, Baginda harus mempertajam penglihatan, berpedoman pada cahaya-cahaya redup di kejauhan.”8

Tanpa terasa, percakapan acak yang kuhapal di luar kepala itu berbaur dengan percakapan nyata di sekitarku. Entah mana lebih dulu. Percakapan miris yang menyumbul dari ingatanku atau suara-suara pengunjung kedai kopi yang mistis berdengung ini:

”Mereka tak peduli aksi kita, bahkan tutup mata!”

”Ya, mereka tambah lahan baru di selatan…”

”Di Bajayau mulai ada kerbau mati minum limbah.”

”Ulun tetap ingin jadi nelayan, seperti pian, hidup dari kerbau gembalaan.”

”Tapi pemimpin kita terus memberi izin…”

”Ya, karena mereka dibuat kenyang seperti itik pulang petang…”

Aku teringat wajah Julak Ahim di atas klotok tempo hari, wajah yang berkeringat. Terasa benar ia memikirkan sawit yang mengubah banyak hal di Kalimantan. Bukan. Bahkan setiap sudut negeri ini. Lahan dikuasai investor. Tanaman tunggal berpelepah sekeras besi menghampar seluas bumi. Selamat tinggal air-tanah, ladang-huma, tumpangsari! Dan sangketa demi sangketa menanti. Tapi entahlah, pemerintah senang bermain api, membuka hutan ulayat, merenggut jalur leluhur, mendirikan kekuasaan dari perbukitan hingga tepian. Tak meluputkan rawa-rawa, ”dunia antara”, penyanggah jagad raya.

***

AKU tahu, kekuasaan (meski tak kita sebut kekaisaran) sedang sakit, menunggu busuk. Para Kublai Khan enggan bercermin pada cahaya kecil di jauhan. Sementara Marco Polo, si orang asing, selalu takjub berlebih pada apa pun yang baru ia jumpai. Adakah keduanya cukup berguna? Tiba-tiba aku merasa tak yakin pada diri sendiri. Akulah juga si orang asing itu, tergeragap takjub pada pandangan pertama, pada tiang-tiang Nagara-Daha, menganggapnya akan abadi hingga lupa kefanaan di bumi.

Telah kuusap dinding-dindingnya yang kuning disepuh cahaya petang, kupoleskan lumpur ke tiang jembatan, dan kupotret taman rawa dalam keliaran tak tergantikan. Tapi apa yang kukatakan pada kaisar-kaisar kecil, para pejabat terhormat kaum banua yang mulai mengintai luas rawa-rawa sepi ini? Tak ada.

Tak ada? O, ada barangkali, memang bukan rumus ilmu yang penuh janji!9. Hatiku megap dari kelumpuhan. Sebagaimana Marco, aku coba menghidupkan jejak kebahagiaan yang masih tampak sekilas dan mungkin tinggal, dalam perjumpaan menggetarkan. Meskipun cerita pahit kedai kopi serasa ingin merenggutnya lebih awal, secepat kopi jadi dingin dan cahaya sore lekas jadi pudar, dihembus-hempas angin santer. Tak apa. Bahkan sebentar lagi gelap dan rawa semata kelam. Tapi kehidupan di dalamnya, di atas tiang-tiangnya, di galur-galur air-lumpurnya, akan tetap berdenyut seperti insang ikan-ikan. O, para klan Kublai Khan, lihatlah cahaya bintang dan kunang-kunang di atas rumput dan gelagah, lampu-lampu di air dan di rumah-rumah kota tercinta; Nagara, Nagara-Daha… ***

/Rumahlebah Jogjakarta, 2012-2014

Catatan:

1. Terjemahan Saut Situmorang, “Cina” (Jurnal CAK No. 2/1995)

2. Kumpulan puisi Chairil Anwar, terbit pertama 1949.

3. Lebih lanjut tentang kerbau kalang, lihat catatan perjalanan saya di Koran Tempo, 6 September 2009

4. Puisi Sitor Situmorang, “Bunga”

5. Ingatan pada sebuah puisi Subagio Sastrowardoyo

6. Judul drama Arifin C. Noor

7. Puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Hemat”

8. Dikutip secara acak dari Kota-kota Imajiner-Italo Calvino (terj.Erwin Salim, Freshbook, 2006)

9. Puisi Subagio Sastrowardoyo, “Manusia Pertama di Angkasa Luar”

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Sungai Buntung

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...

CERPEN 2010 OLEH PUTU WIJAYA


floral number
image 
Tak terasa 2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi?

“Kalau boleh memilih, lebih baik para koruptor, manipulator tertidur pulas semuanya. Negara kita akan aman. Ketimbang banyaknya para dermawan yang rajin menyumbang bencana alam ataupun kemiskinan, yang akhirnya jadi dagelan, karena semua jatuhnya bukan ke tangan korban yang sebenarnya!” kata seorang tetangga. Saya manggut-manggut.

“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir, segala bencana yang menimpa kita itu sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab saya, “Bayangkan, dengan adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para cendekiawan kita, para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata, jadi terlatih untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”

Tetangga itu ganti manggut-manggut.

“Memang dalam ilmu persilatan, pendekar-pendekar dari Shaolin itu berlatih dengan cara disiksa! Tapi bangsa ini kan bukan pendekar silat. Jangankan main silat, memainkan lidah saja tidak mampu karena tiap hari sudah kena tipu. Yang kita perlukan di tahun 2010 adalah kiamatnya kejahatan, matinya semua koruptor dan manipulator, termasuk pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri! Supaya rakyat banyak bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan terus dikubur!”

Tanpa peduli reaksi saya tetangga itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang dan menjual kembali obrolan itu di rumah.

“Jadi kita wajib mensyukuri juga segala rongrongan yang sudah terjadi, karena berkat itulah kita menjadi dewasa. Lihat saja, kalau tidak ada pencuri yang membobol rumah kita, kita tidak akan pasang terali besi, sehingga ketika tetangga-tetangga habis disikat oleh pencuri, satu-satunya yang selamat adalah rumah kita ini,” kata saya berpidato di depan siapa lagi kalau bukan istri.

Tapi seperti biasa, istri saya sama sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa mencari anak saya.

“Bagaimana pendapatmu, Ami?”

“Tentang apa?”

“Apa yang kamu harapkan akan terjadi di tahun 2010?”

“Hanya satu!”

“Apa?”

“Bapak beli mobil!”

Saya kecewa.

“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu juga sudah terperangkap pada kebutuhan materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu payah, Ami!” Ami tertawa.

“Habis yang ditanya harapan.”

“Memang! Tapi jangan salah! Harapan itu bukan mimpi. Itu namanya ngelamun. Harapan itu keinginan keras untuk mewujudkan sesuatu yang ada hubungannya dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk kepentingan diri sendiri, thok!”

Saya hampir saja memberi kuliah panjang lebar, keburu istri saya muncul dari rumah tetangga.

“Bapak kok belum berangkat juga?”

“Ke mana?”

“Ya nengok tetangga yang diopname itu. Nanti dia keburu pulang!”

“Orang sudah mau pulang buat apa lagi ditengok?”

“Justru harus ditengok sebelum pulang. Itu yang disebut silahturahmi. Kalau terlambat, nanti didahului keluarganya yang sudah siap-siap mau jemput. Ayo cepetan ke situ, sebelum dia pulang. Dulu kan dia yang paling rajin nengok waktu Bapak sakit?! Cepet!”

Saya terpaksa buru-buru ganti pakaian, lalu keluar rumah.

“Naik apa?”

“Naik ojek saja. Nanti orangnya keburu pulang!” Istri saya mengulurkan ongkos ojek.

“Cepet!”

Saya menyambut uang itu, lalu terbang. Tapi di mulut jalan yang biasanya ramai tukang ojek, sama sekali sepi. Setengah jam saya menunggu, tak satu pun hidung tukang ojek yang nongol. Karena tidak sabar, akhirnya saya naik angkot.

Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar berhenti, seperti anjing yang tiap beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan macet. Bahkan angkot sengaja masuk ke terminal dan antre di belakang angkot-angkot lain untuk menjaring penumpang yang dengan malasnya turun dari bus.

Hampir dua jam saya baru sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke kamar yang menurut istri saya dihuni tetangga kami, orangnya sudah pergi. Di tempat tidurnya sudah ada pasien lain.

“Baru saja pulang, Pak,” kata perawat.

Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang. Saya langsung ke rumah tetangga yang sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi. Kata yang jaga rumah, semua baru saja berangkat ke rumah sakit untuk menjemput. Amat membingungkan. Setelah dicek dengan teliti, ternyata kamar yang tadi saya masuki salah.

Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, saya terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan heran, perawat yang sama memberi keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”

Dengan amat sangat kesal saya keluar dari rumah sakit. Untuk mengobati hati saya yang luka, saya tidak segera pulang. Pulang juga tidak ada gunanya, hanya akan didamprat istri. Saya coba menenangkan otak dengan jalan-jalan ke mal. Meskipun dihina banyak orang bahwa mal-mal yang balapan –bahkan maksa-maksa– berdiri di semua kota sudah membunuh pasar tradisional, nyatanya pusat perbelanjaan itu menjadi hiburan buat rakyat jelata.

Tapi, tak disangka-sangka, ketika masuk restoran mau makan ayam goreng buatan Amerika, saya berpapasan dengan tetangga yang sakit itu. Ia kelihatan lebih sehat dari orang sehat. Saya tak habis pikir, orang sebugar itu kok masuk rumah sakit.

“Pak Amat mau ke mana?”

“Habis dari rumah sakit, mau nengok Anda. Tapi katanya baru saja pulang. Sudah sembuh ya?” Dia tertawa.

“Belum.”

“Belum kok sudah gentayangan di mal?”

“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah sakit yang paling baik untuk cuci mata dan cuci otak di samping cuci kantong. Ya kan, Pak?”

Dia tertawa lagi dan mengguncang tangan saya.

“Jadi?”

“Saya mau pindah ke rumah sakit lain. Di situ tidak betah. Perawatnya judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah sakit, saya pingin makan burger. Sudah dua minggu ini makan daging busuk yang direndam air comberan. Mana ada makanan enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”

“O, begitu?”

“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya sekali, jadi harus dinikmati. Buat apa kita banting tulang cari uang melulu. Jadi kalau uangnya sudah didapat mesti dibanting balik supaya bisa kita cari lagi. Ya kan, Pak!”

Dia tertawa lagi. Waktu itu saya mulai yakin bahwa dia memang sakit.


“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”

“Ya. Mau pindah rumah sakit. Seminggu di situ saya mules-mules dan muntah terus habis makan.”

“Jadi sekarang mau ke rumah sakit mana?”

“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”

“Pulang?”

“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah makan burger. Terima kasih sudah nengok!”

Dia mengguncang tangan saya lalu pergi. Saya menatap takjub. Makanan cepat yang sering dikutuk sebagai sampah dan racun itu, ternyata sudah bikin dia sehat. Saya jadi merasa diri saya bego.

“Banyak sekali yang sudah berubah,” komentar hati kecil saya, “orang ke rumah sakit tidak karena sakit lagi, tapi karena mau istirahat dan dapat pelayanan yang manis dari para perawat yang sudah terlatih untuk memanjakan pasien. Rumah sakit sudah jadi bisnis rumah bersenang-senang.”

Langit sudah dimerahkan ketika saya kembali ke rumah. Istri saya tidak ada. Kata Ami sudah sejak tetangga itu pulang, ibunya ngerumpi di tetangga. Saya melanjutkan termangu-mangu dan ngobrol dengan perasaan saya.

Ami jadi penasaran.

“Bapak kenapa?”

“Kamu percaya tidak, Ami?”

“Apa?”

“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat untuk mendapat kemanjaan buat orang-orang yang berduit.”

“Memang.” Saya tercengang.

“O ya, jadi kamu setuju?”

“Bukan setuju atau tidak. Faktanya memang begitu!”

“Tapi kamu setuju atau tidak?”

“Kenapa mesti setuju atau tidak? Saya tidak dalam posisi itu!”

Saya menatap anak saya. Lalu saya bertambah yakin bahwa dia memang makhluk lain yang datang dari planet lain. Bukan sejenis saya atau istri saya.

“Kok Bapak melotot begitu?”

“Kamu aneh!”

“Saya atau Bapak yang aneh?”

Kami saling memandang. Dan saya tahu kami memang sama-sama merasa aneh. Dan itu tidak ada kesepakatan. Saya selalu membiarkan perbedaan itu mengapung di antara kami yang menjadi pembelajaran kami setiap hari dalam banyak hal. Dari sana saya mulai banyak memahami berbagai hal.

Tidak seperti biasanya, saya mencoba berdamai.

“Kalau begitu, Bapak sekarang mengerti mengapa harapanmu pada tahun 2010 itu hanya mobil.”

“O begitu?”

“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan lagi kendaraan mewah, seperti waktu Bapak muda. Waktu muda Bapak menganggap mobil adalah kendaraan dewa-dewa. Siapa yang punya mobil berarti dewa. Mobil adalah status sosial. Tapi sekarang mobil hanya alat transportasi. Kelengkapan bekerja, seperti alas kaki atau sepeda yang sangat penting karena kecepatan adalah tuntutan masyarakat kota yang serba bergegas.” Ami ketawa.

“Salah.”

“Salah?”

“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk mancing, supaya Bapak ingat kembali pada cita-cita Bapak yang sudah mulai luntur.”

“Cita-citaku yang sudah luntur?”

“Persis!”

“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah luntur!”

“O ya? Apa cita-cita Bapak yang tidak pernah luntur itu?”

Saya terkejut lalu segera mulai membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama. Ami kontan mengejar.

“Apa coba?”

Saya masih memilih-milih. Kemudian istri saya muncul. Rupanya ia sudah mendengarkan sejak tadi, lalu langsung menolong saya menjawab.

“Hidup harus diabdikan pada kepentingan bersama!”

Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya. Istri saya tersenyum. Dia kembali berhasil memberikan saya tamparan yang telak. Padahal, kendati memang saya yang melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya datang dari dia juga. Dialah yang sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah ini, terus mencari peluang untuk meningkatkan kenyamanan hidup dengan dalih masa depan yang lebih baik. Tak peduli itu bisa mengganggu kenyamanan orang lain.

“Bapak yang baru kembali dari rumah sakit itu memergoki Bapak tadi di mal makan ayam goreng Amerika ya?” Saya tertawa.

“Bukan dia, aku yang memergoki dia makan burger. Orang sakit kok makan makanan sampah di mal!”

“Itu dia. Makanya dia masuk rumah sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”

Saya tidak meneruskan percakapan itu. Saya tidak perlu menang di dalam rumah. Yang penting istri tersenyum dan anak tertawa, itu kebahagiaan saya. Besoknya saya jumpai tetangga.

“Saya kira Bapak betul,” kata saya mencoba membuka percakapan yang tertunda sebelumnya.

Tetangga itu tercengang.

“Apanya yang betul?”

“Ya. Kita tidak perlu dermawan. Cukup asal para koruptor, manipulator dan pemimpin-pemimpin palsu itu tidur, negeri kita pasti akan aman.”

Tetangga itu memperhatikan saya dengan sinis.

“O, jadi itu sebabnya Bapak belum mengembalikan edaran sumbangan warga itu?”

“Ah? Edaran sumbangan apa?”

“Edaran sumbangan dari warga untuk diberikan kepada para satpam sebagai hadiah tahun baru atas pengabdian mereka 24 jam bertugas tiap hari itu?”

Saya tertegun.

“Ya Pak?”

Akhirnya saya terpaksa menjawab.

“Ya.”

“Kenapa?”

“Sebab itu akan mengajarkan mereka moral pengemis. Bukan etos kerja profesional. Mereka harus bangga sebagai petugas keamanan, sebab itu profesi mereka dan mereka profesional. Jangan hanya bekerja untuk menunggu kita mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan sebagai sumbangan. Itu pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan pekerjaannya yang berat berjaga 24 jam tiap hari. Buat mereka bangga pada pekerjaannya dan menjadi profesional!”

Tetangga saya hanya manggut-manggut. Nampak kagum. Dia pasti tidak ingat, yang dulu, pertama dan paling getol menolak kenaikan gaji satpam adalah saya. Karena saya lihat mereka semua pemalas. Kebanyakan tidur bahkan sering meninggalkan gardu jaganya kosong.

Sebelum tetangga itu sadar bagaimana caranya menjawab dengan telak, saya langsung ngacir untuk menutupi rasa malu. Ketika melintas di depan gardu satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada keenam satpam yang kebetulan sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50 ribuan. Supaya meredam api amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti masuk ke telinga mereka.

Sambil menunggu kehadiran 2010 saya selalu berpikir bahwa tak ada obat yang mujarab. Semua memerlukan proses. Banyak lubang yang akan terus bertambah, kalau yang kita sumbat hanya satu-satu. Mesti semuanya. Dan itu memerlukan waktu, sebab kita semua sekarang memandang dari kaca mata yang berbeda-beda.

“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang diramalkan suku Maya yang keseramannya sudah dibayangkan oleh film yang nyaris dilarang MUI itu, memerlukan kesabaran kita. Boleh banyak berharap, tetapi banyak khawatir juga perlu, supaya berimbang sehingga kita tetap awas,” komentar hati kecil saya.

Istri saya mendengar, lalu ngomel, seperti biasa.

“Sabar itu tidak berarti diam. Itu namanya malas. Sabar itu adalah tahan banting sembari terus mencari peluang untuk membuat istrimu selalu senyum, anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan para tetangga menyapa ramah!”

Anak saya juga nimbrung.

“2010 tak akan jadi datang, kalau kita hanya mau menerima separonya. Mesti diterima penuh. Total. Tidak berarti menerima itu setuju atau tidak setuju, tapi berani menghadapinya lalu menyelesaikannya secara jantan!”

Saya mencoba tertawa.

Di tahun 2010, apakah matahari masih akan terbit setiap hari di timur dan tenggelam di barat? Apakah malam tetap silih bergantian dengan siang? Adakah hal-hal yang baik masih saling berselipan dengan yang buruk? Akankah hidup kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado? Berbagai unsur tersaji, tinggal siapa dan bagaimana menyantapnya. Semuanya dikembalikan kepada manusia yang akan mengisinya.

Kepada setiap orang apa ada kesempatan menuliskan riwayat hidupnya. Bahwa menolak dan pasrah tidak berarti akan dituliskan, tetapi sudah merakit sendiri. Bahwa manusia selalu mendapatkan peranan dan menjalankan peranan. Bahkan kematian dan kemusnahan pun tidak memutuskan riwayatnya.

Kearifan lokal mengatakan ada itu tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010 sudah datang sebelum datang. Dan sudah pergi sebelum kita alami. Kita tak pernah tahu hanya peran pembantu yang tak mampu mengubah nasib. Kita adalah para penulis yang mencipta dan meletakkan sendiri bagaimana cerita akan berjalan atas kehendak-Nya.

Tiba-tiba HP saya ada SMS:

“Kecemasan itu perlu untuk membatalkan yang tidak kita kehendaki mungkin terjadi. Baik Djojobojo, Nostradamus atau suku Maya, mereka sudah memahaminya. Ramalan adalah sebuah kearifan lokal untuk membalikkan takdir menjadi nasib yang ditulis oleh manusia, tetapi semuanya juga atas kehendak-Nya.”

Siapa yang sudah mengirim pesan itu?

“Aku,” bisik 2010.

Saya pikir, tak ada kata akhir, selama kita masih mau berpikir.

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen (Hidup) Matinya Sebuah Kota

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...

ad2