ad1
CERPEN ANAK IBU OLEH BENNY ARNAS
Alam Semesta
Oktober 14, 2024
image |
Apa Bahagia Itu, Anakku
Bahagia adalah ketika kau mendapatkan kegembiraan, kedamaian, dan rasa syukur, dalam waktu bersamaan. Hilang saja salah satunya, hidupmu akan timpang.
Kau nanti akan mendapati orang-orang yang berlebihan dalam banyak hal. Misalnya seorang hajjah, yang bila melenggang serupa manekin toko emas berjalan; bergelantungan perhiasan di leher, pergelangan tangan, centil telinga, bahkan lingkar kakinya. Tapi tak banyak yang peduli bahwa ia selalu dihantui kecemasan. Suaminya dibelit kasus korupsi, pun saban dua minggu harus cuci darah; anak-anaknya sudah tiga kali tertangkap basah nyimeng di belakang sekolah.
Kau jangan mencari kegembiraan dengan mengorbankan rasa damai, Anakku. Kau jangan lupa bersyukur hanya karena merasa semua didapat lewat kerja kerasmu. Kau jangan jadi orang kaya yang miskin!
Seperti Neknang
Mengapa orang-orang tua banyak yang renta?
Selain perkara usia, karena mereka tak mampu mengambil saripati kehidupan yang sudah kapalan dilalui. Mereka hendak berehat saja ketika senja, namun lupa, rehat dapat membunuh hasrat untuk senantiasa siap. Maka, kautiliklah, orang-orang tua yang bersantai ketika waktu sudah sudah hampir bosan memeringati usia, akhirnya akan menjadi benalu dalam keluarga. Kehadirannya justru merepotkan orang saja (walaupun tak ada yang mengungkapkannya).
Maka, kuceritakan padamu tentang Kakek. Dalam bahasa kampung kita, Neknang. Menjelang kepala delapan, ia masih berkebun, ia masih mengitari kampung saban petang, ia masih membaca koran (walau kadang minta ditunjuki arti beberapa kata atau kalimat serapan asing), bahkan ia masih punya cita-cita. Ke Tanah Suci.
Ibu ingin kau pun mewarisi semangatnya, Anakku. Menjadi tua, sudah ketentuan. Namun kau dapat menjadi muda, demi kehidupan!
Kehilangan Matahari
Kau tak tahu bagaimana kita sudah kehilangan matahari sekian lama. Sejak gedung-gedung itu tumbuh tinggi dengan cepatnya, mengalahkan tunas-tunas tanaman yang mesti disirami saban hari.O, kau juga tak tahu perihal pohon itu, kan?
Suatu waktu Ibu akan keluar dari kampung tembok ini, Anakku. Akan kubawa ember dari rumah menuju tanah lapang yang dirimbuni ilalang. Siapa tahu ada anakan jambu terong atau anakan srikaya yang tiba-tiba menyeruak dari sana. Akan kucungkil tanah tempatnya tumbuh: ya, bersama tanahnya sekalian. Kumasukkan ke dalam ember.
Di rumah, setelah disiram sedikit air. Kukabarkan padamu bahwa itulah cikal-bakal pohon. Aku hanya masih berpikir, apakah benar anakan itu akan menjadi pohon, bila matahari selalu disembunyikan oleh tembok-tembok?
Makan-makan
Bila ada yang meninggal, kaukabarkan saja pada keluarganya dan mereka yang tahu agama. Bakda dimandikan dan dikafankan, baru kaumaklumatkan pada 40 orang. Sembahyangilah ia. Lalu tanamlah ia di pemakaman umum di selatan kelurahan. Tak usah kau tanam di dekat rumah. Ia juga ingin berkawan dengan orang-orang mati, bukan hanya dengan kalajengking, lipan, dan cacing-cacing berwarna cokelat bening.
Bila para tetangga hendak mendoakannya di rumah, kau bantu ahli-musibah menyiapkan buku Yaasin dan Al-Qur’an. Lalu jeranglah air sepuluh kali lebih banyak dari biasa. Itu saja. Tak usah kau petik nangka muda, tak usah menebang batang kelapa untuk diambil umbutnya dan diparut kulit daging buahnya, tak usah menyembelih ayam kampung, tak usah membeli bumbu-bumbu gulai di pasar pagi. Ia tak restu bila kalian mesti berutang demi menyelenggarakan malam-malam doa di rumah hingga 100 hari kematiannya.
Aku Akan Jadi Gurumu
Maka, kuboyong kau ke sebuah kampung suatu hari. Kampung yang tersuruk. Nyaris dilupakan sesiapa (apalagi pembuat peta). Bukan tempat Ibu dilahirkan. Bukan pula tempat kakek-nenekmu hidup dulu. Ibu sudah lama mencari-cari daerah di mana Ibu dapat melihatmu tumbuh menjadi manusia yang paling manusia.
Ibu akan mengajarimu banyak perkara. Tak perlu kau mendaftar ke sekolah. Kau akan kudidik sendiri. Dengan tertib. Ibu tak ingin menitipkanmu ke gedung-gedung yang dibangun dengan batako yang dilapisi adukan semen dan pasir dengan perbandingan 1:7. Ibu tak ingin kau didikte pelajaran yang gurunya sendiri tak paham apa yang (hendak) ia berikan. Apalagi menurutku kau benar-benar tak perlu belajar bila sudah sekolah. Bukankah sudah ada tim sukses masing-masing sekolah yang akan mengisi lembar jawabanmu? Satu-dua siswa mereka tak lulus, dipecatlah kepala sekolahnya, digantilah kepala Dinas Pendidikannya, ditegurlah menterinya. Kita tak usah menyusahkan banyak orang, Anakku.
Bila Kau Jadi Pengarang
Baca: Cerpen Mitos Bahu Tuhan
Bila kau menjadi pengarang, jadilah pengarang yang santun. Kau tak usah ikut-ikutan pengarang yang banyak bicara. Lain yang ditulis, lain pula tindak tanduknya.Yang kerjanya menghina karangan orang. Yang kerjanya menghardik pengarang lain. O ya, Ibu lupa kau perempuan, ya! Jadilah pengarang perempuan yang benar-benar perempuan. Tak usah kaukuak hal-hal busuk perihal kaummu. Tak penting itu. Hanya akan membuatmu terkenal karena kebusukanmu (bila ada yang bilang itu “wangi”, itu bukan urusanmu).
Ingat Nak, mengarang itu menggambar atau bahkan membocorkan kenyataan agar orang lain ingat bahwa seperti ini rupanya hidup itu; kalau begini akan begitu, kalau begitu akan begini. Maka, bila berhubungan dengan pengarang lain, bercengkeramalah sebagaimana kau mengarang. Aku tak memintamu menjadi munafik. Aku memintamu bertanggungjawab terhadap apa-apa yang kau karang. Ingat pula, mengarang adalah mengingati orang lain tanpa mereka merasa digurui. Nah, bila tukang ingat-nya saja sembrono dalam bertabiat, bagaimana orang-orang yang membaca karangannya mendapatkan manfaat dari apa-apa yang (pura-pura) ia baik-baikkan dalam bahasa ceritanya?
Senja yang Telat Pergi
Kau harus tahu, di waktu-waktu tertentu, ada kalanya senja tak ingin pergi. Hingga, ketika jejak azan magrib sudah hilang dari gendang telinga pun, langit masih jingga. Jingga yang pucat. Dengar, itu bukan pertanda bahwa serombongan PKI hendak menggorok leher ibumu ini. Bukan pula karena Hantu Wewe tengah berkeliaran mau menyembunyikanmu di balik jubah landungnya. Itu adalah selingan alam.
Kadang-kadang kau tak tahu bagaimana ranting kering tiba-tiba patah tanpa didahului embusan angin yang kuat, tanpa didahului seekor prenja yang silap menghinggapinya. Nah, itulah. Tuhan kadangkala memainkan kekuasaannya pada hal-hal kecil, Nak. Kauresapilah.
Pun dengan senja itu. Tuhan hanya ingin memersilakanmu menikmatinya agak lama. Jangan kau menggerutu sebagaimana orang-orang merutuki hujan lebat yang membuat seng rumahmu berkereokan tak sedap didengar. Kau jarang berpikir, ketika itu anak-anak tetangga senangnya minta ampun setelah sekian lama tak mandi karena air sumur sudah bau belerang. Jarang ada yang berpikir, ketika senja hinggap lebih lama, anak-anak takut keluar rumah. Orang-orang tua bahkan menambah-nambah ketakutan mereka dengan cerita-cerita tak berbenang-merah. Jarang yang memanfaatkan kebersamaan dalam kekalutan itu, untuk membuat mereka bergegas mengambil wuduk: solat magrib bersama!
Tamasya di Hari Lahir
Apa yang akan kaulakukan ketika anakmu tiba-tiba ingat hari lahirnya?
Kau akan berpikir keras tentang sejumlah uang yang akan kauhabiskan untuk merayakannya, bukan? Merayakan? Apa yang perlu dirayakan dari sebuah peringatan?
Ibu bisikkan padamu. Kau ajaklah anakmu pergi ke tepian Lubuklinggau. Ke Siring Agung. Kaulintasi hutan karet di Kenanga Dua Lintas. Dalam perjalanan, kau kenalkan nama-nama pepohonan yang berbaris di tepi kiri-kanan jalan, yang berjajar serupa pagar-bagus pesta perkawinan. Biasanya pohon durian yang hampir ratusan tahun umurnya paling banyak di sana, pohon kopi yang bunganya bagai rerumpun melati yang tengah berpelukan, dan sedikit memasuki daerah Siring Agung, kau akan melihat pohon yang kelopak bunganya tak lembek: bunga kamboja. Di sana, terhampar pusara-pusara orang yang telah habis jatah hidupnya. Nah, lihat tahun lahir dan meninggal mereka. Bermacam-macam, bukan? Ada yang sudah sangat tua, ada pula yang seumuran dengan kau dan anakmu. Tentu, kau dan anakmu sudah khatam mendengarkan diktum kematian, bukan? Mau dibawa ke mana hidup ini bakda mati? Jangan lupa ya, Nak. Ajak anakmu ke sana di hari lahirnya.
Karib Nenek di Seberang
Nenekmu punya seorang kawan yang tinggal di seberang pulau. Ia memiliki sembilan anak. Semuanya sudah berkeluarga dengan pekerjaan yang baik-baik pula. Kau tahu, ia hanya seorang tukang jahit. Ia sangat suka berderma. Ia selalu memasak gulai dengan melebihkan kuahnya. Agar dapat dibagi-bagi dengan tetangga, begitu alasannya. Bila masjid mengadakan acara, dari khatam Qur’an hingga Mauludan, ia yang paling banyak membawa penganan untuk para jemaah.
Bila dipikir-pikir, manalah mungkin ia mampu membiayai sekolah dan kuliah semua anaknya. Tuhan Maha adil, katanya. Aku takkan bercerita banyak perihal keajaiban itu, lanjutnya.
Ada-ada saja rezeki yang datang padanya, Anakku. Ibu akan selalu ingat sebuah kalimat sederhana yang dirawikan Nenekmu darinya: Banyak memberi takkan membuatmu jatuh miskin.
Semuanya Berkabut
Dari banyak hal yang membuat Ibu gelisah, yang satu ini harus diceritakan. Kini, dan apalagi ketika masa kau besar nanti, tidak ada silaturahim yang murni. Kedatangan adalah jembatan menghantar keperluan. Senyuman adalah senjata untuk menyembunyikan kebusukan. Tolong-menolong haruslah diawali kesepakatan yang saling menguntungkan.
Demi Tuhan yang Maha Menurunkan Keajaiban, kuingin kau menjadi orang asing di masa itu, Anakku. Jadilah orang asing yang memegang tongkat Al Hakim. Jadilah orang asing yang jernih berpikir, teguh memegang kata hati. Semuanya akan berkabut, Anakku. Hanya yang sombong yang tak melihat kabut itu. Hanya yang asing yang merasa terganggu oleh kabut itu. Kau, kuingin kau selalu was-was terhadap kabut itu, Anakku.
Jadilah Orang Miskin yang Kaya
Dengar, Anakku. Jangan pernah percaya pada kata-kata orang yang berdasi itu: Bila kau ingin berhasil, maka cintailah pekerjaanmu! Ingat, Anakku. Tak ada orang yang benar-benar mencintai pekerjaannya. Bila memang ia mencintainya, maukah ia menjabaninya tanpa imbalan?
Hidup adalah tumpukan topeng yang tak berwujud. Berlapis-lapis ditimpuk, takkan membuat mukamu tampak berbeda. Ini perkara lama. Perkara yang sudah jauh-jauh hari Tuhan ingatkan kepada kita. Padaku. Padamu pula.
Kau pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir. Kejujuran, rendah hati, mencintai saudara. Jangan kau ganti harta-harta itu dengan harta-harta yang baru: ketenaran, gelar haji, jabatan, mobil, emas-permata. Maka, jadilah orang miskin yang kaya, Anakku! Orang miskin yang bahagia.
Malam Setan
Malam, tak ubahnya siang hari. Bahkan lebih meriap. Kau akan mendapati perempuan jadi-jadian di sekitar rumah (rel kereta api tak lagi menguntungkan untuk mencari pelanggan).
Aku bersyukur karena kau perempuan, Anakku. Bukan laki-laki. Maka, demi Tuhan, janganlah pula kau menjadi siluman. Kelak, bukan hanya banyak perempuan yang mengaku bahwa mereka terperangkap dalam kegagahan perawakan laki-laki. Namun, akan banyak pula laki-laki yang mengaku terperangkap dalam kemolekan tubuh perempuan. Sering-seringlah mengunjungiku, Anakku. Agar kau ingat padaku. Pada nasihat-nasihatku. Pada kematianku. Pada kematianmu.
Lelaki Pencuri Cahaya
Sekarang kau sudah menjadi perempuan dewasa. Serupa aku beberapa tahun sebelum mengandung. Kau masih saja memakai pakaian yang landung-landung. Rok yang mencium mata tumit, dan baju kurung yang berkancing setengah kilan di atas payudara, membungkus lenganmu hingga ke gelang tangan.
Maka, carilah pemuda yang selalu membuatmu bercucuran cahaya karena mentari telah berhasil ia curi dan ia rasukkan ke dalam dirinya.* Dialah pemuda yang akan menjagamu. Menjaga pusara ibumu. Menjaga kehormatanmu. Menjaga anakmu agar tak menikah sebagaimana kau kelak: berwali hakim di hadapan penghulu.
Anak Ibu
Maafkan Ibu yang tak sempat menemanimu tumbuh, Anakku. Yang terang adalah, Ibu kini bahagia. Kau selalu mendoakanku, orang yang terbang ke langit bakda memersilakanmu menangis untuk pertama kalinya. Entah, kau mendoakan ayahmu atau tidak. Atau kau sudah tahu bahwa pemerkosa itu tak layak kaudoakan. Atau dokter yang menghadiahiku buah simalakama kala itu, menggugurkanmu agar aku hidup, atau melahirkanmu namun aku akan segera bertemu Munkar dan Nakir, telah menceritakan kepadamu bahwa aku kerap bercengkerama dengan perutku sendiri, menyampaikan ragam nasihat, harapan, dan impianku tentangmu, ketika layar monitor mesin pemindai kandunganku menyatakan kau perempuan?
Khidmatilah semuanya, Anakku. Mataku ada di mana-mana. Sebagaimana semua petuahku menyelusup dalam tindak-tandukmu.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Sungai Buntung
CERPEN MERPATI-MERPATI MAKKAH OLEH IRWAN KELANA
Alam Semesta
Oktober 14, 2024
image Gary Griffith |
Akhirnya, aku tiba juga di kota yang kurindukan ini. Makkah, kota kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, lokasi Masjid al-Haram berada.
Kemarin pagi aku dan 29 wartawan Indonesia dari berbagai media tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Dari Jeddah, kami naik bus ke Madinah yang berjarak sekitar 450 kilometer selama kurang lebih enam jam. Shalat di Masjid Nabawi dan mengunjungi beberapa tempat di Kota Nabi tersebut.
Bakda Isya kami melanjutkan perjalanan ke Makkah dengan bus. Sebelumnya, kami mampir di Bir Ali untuk mengambil miqat dan mengenakan pakaian ihram. Perjalanan sepanjang sekitar 490 km itu kami tempuh dalam waktu sekitar enam jam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari ketika bus tersebut tiba di kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi. Dari jarak belasan, bahkan lebih 20 kilometer, Abraj Al- Bait Tower, gedung tertinggi di Kota Makkah tampak megah seakan mengucapkan selamat datang. Sebuah jam raksasa yang bertengger di puncaknya makin menegaskan keberadaan Menara Abraj Al-Bait sebagai landmark dan ikon Kota Makkah.
Dari berbagai literatur yang aku baca sebelum berangkat ke Tanah Suci, di dalam Menara Abraj Al-Bait terdapat beberapa hotel bintang lima, seperti Fairmonth, Raffles, Retaz, Movenpick, SwissBell, dan Grand Zam-Zam. Terdapat mal di lantai dasar dan food court di lantai tiga yang antara lain menjual makanan Indonesia, seperti bakso dan lain-lain. Tower yang buka 24 ini sangat strategis karena berdiri persis di depan pintu Masjidil Haram.
Kami hanya sebentar di kantor Daker, menyimpan koper. Setelah itu, tiga minibus sudah siap mengantar kami ke Masjid al-Haram untuk melakukan tawaf qudum dan umrah wajib.
Mendekati terminal bus Bab Ali, menara-menara Masjidil Haram sudah kelihatan. Diterpa cahaya lampu gemerlapan, menara-menara tersebut bagaikan potongan surga yang diturunkan ke bumi.
Makin lama, cahaya tersebut makin benderang dan wajah Masjidil Haram dengan Ka’bah di dalamnya makin tampak jelas. Tanpa terasa bibir ini berucap, “Subhanallah.” Air mataku meleleh.
Tak sabar rasanya aku menunggu mobil ini parkir di Terminal Bab Ali yang berjarak sekitar 100 meter dari Masjidil Haram. Ingin rasanya aku berlari dan segera memutari kiblat miliaran umat Islam sedunia itu sambil melantunkan kalimat talbiah. “Labbaikallaahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innalhamda wanni’ mata laka walmulk laa syariikalak.”
***
Rasa syukur tak henti-hentinya aku panjatkan sejak masih di Tanah Air. Di usiaku yang menginjak 31 tahun, Allah izinkan dan panggil aku menghadap-Nya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Memang bukan haji atas biaya sendiri, melainkan haji abidin atau atas biaya dinas.
Atas izin Allah, aku terpilih menjadi salah satu dari 30 orang wartawan peliput haji yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) di bawah koordinasi Kementerian Agama. Sebagai peliput haji, kami datang sebelum kelompok terbang (kloter) pertama jamaah haji Indonesia tiba di Tanah Suci, Arab Saudi. Dan, kami baru akan pulang pada saat jamaah kloter terakhir sudah kembali ke Tanah Air.
Insya Allah, kami akan berada di Tanah Suci selama 75 hari atau hampir dua kali lipat lamanya prosesi ibadah haji jamaah reguler yang mencapai 40 hari dan tiga kali lipat pelaksanaan ibadah haji jamaah haji plus yang mencapai 25 hari.
Namun, berbeda dengan teman-teman peliput haji lainnya, aku datang ke Tanah Suci ini juga membawa misi lain: Setelah prosesi ibadah haji selesai, aku akan menikah!
Ya, di Kota Makkah yang diberkahi, di Masjidil Haram yang dimuliakan, lebih khusus lagi, di depan Ka’bah yang sakral ini aku akan mengikat janji suci dengan seorang gadis salehah bernama Kuntum Khaira Ummatin.
Takdir mempertemukan aku dengan gadis desa yang sederhana, namun manis dan cantik itu saat meliput Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan Musabaqah Hifzhil Qur’an (MHQ) yang diadakan oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi di Jakarta, beberapa bulan lalu.
Gadis yang baru saja menyelesaikan kuliah S-1 di Sekolah Ekonomi dan Bisnis Islam (SEBI) Parung, Bogor, Jawa Barat, itu berhasil meraih juara pertama lomba menghafal Alquran. Setelah mewawancarainya, aku tak heran kalau dia memenangkan lomba menghafal Alquran tersebut. Dia bersekolah di madrasah ibtidaiyah di desa kelahirannya di Surakarta. Kemudian, melanjutkan tsanawiyah dan aliyah di Pondok Pesantren Gontor Putri (Mantingan). Lulus aliyah, dia hafal 20 juz Alquran. Selepas mengabdi selama setahun, Kuntum mendapatkan beasiswa dari SEBI yang diperuntukkan bagi para penghafal Alquran dengan target lulus kuliah harus hafal 30 juz.
vvvvvvvvvvvv Di balik sosoknya yang sederhana, gadis ini menyimpan pesona yang luar biasa. Sorot matanya lembut keibuan dibalut kerendahan hati dan kesantunan—dua hal yang sudah jarang dijumpai pada gadis-gadis modern zaman sekarang. Dan, ketika ia melantunkan ayat-ayat Alquran, suaranya begitu bening dan mengalir ke setiap sudut hati.
Ya, Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada kesan pertama? Sudah lama aku tak merasakan perasaan indah seperti ini. Sudah bertahun-tahun lalu, sejak aku beberapa kali ditolak oleh calon reporter (carep). Mungkin, ada banyak alasan mereka menolak cintaku. Tapi, yang aku yakini—boleh jadi aku terlalu sensitif dan sentimental—mereka mungkin menolak aku karena tak siap dibonceng sepeda motor bebek butut manakala sudah menjadi istriku nanti.
Salah seorang carep menolakku dengan cara yang halus, tapi sungguh menyakitkan. Dia bilang belum memikirkan soal cinta, tapi keesokan harinya dia dijemput seorang pemuda ganteng yang mengendarai Honda Jazz keluaran terbaru berwarna merah!
Kini, usiaku sudah kepala tiga. Sudah waktunya aku mempunyai tempat berlabuh dari kepenatan kerja dan kerasnya perjuangan hidup. Sudah waktunya aku memberikan menantu dan cucu untuk ibuku yang tinggal di kampung.
Namun, pada zaman sekarang, mencari wanita yang siap dijadikan istri dan mau diajak hidup susah dan senang bersama-sama ternyata sangat sulit.
“Mas Fadil, kalau Anda ingin tahu apakah seorang wanita baik untuk dijadikan istri, tanya saja apa mahar yang diinginkannya,” begitu nasihat Ustaz Salim, seorang dai kondang, saat aku meminta nasihatnya, beberapa bulan lalu.
“Kalau mahar yang dimintanya sederhana dan mudah, itulah tanda bahwa dia adalah wanita yang sangat layak dijadikan istri.”
***
Saat aku dalam perjalanan pulang meli put MTQ dan MHQ itu, aku lihat Kuntum berjalan sendirian menuju halte busway. Aku sengaja menyejajarinya dengan sepeda motor bututku.
“Kuntum, maafkan saya. Saya ingin menanyakan satu pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi. Terserah Kuntum mau jawab atau tidak.”
Ia terdiam. “Ada apa, Mas?” tanyanya lembut.
“Jangan marah ya. Kalau Kuntum menikah, apa mahar yang Kuntum inginkan?” akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulutku.
Tiba-tiba, Kuntum tersenyum teramat manis. “Saya punya dua impian untuk pernikahan saya, Mas. Pertama, saya selalu memimpikan mahar berupa hafalan surah Yasin dari calon suami saya. Kedua, saya memimpikan ijab qabul di depan Ka’bah.”
Sebuah jawaban yang tidak pernah aku bayangkan. Inilah tipe menantu dambaan ibuku! Teriakku dalam hati.
Aku menemui Dr Oni Sahroni, direktur Cyber-C SEBI dan juga dosen SEBI. Kepada doktor lulusan Al-Azhar University Kairo, Mesir, itu aku sampaikan bahwa aku ingin meminang Kuntum kalau dia masih belum punya calon suami.
“Terus terang, Ustaz. Saya belum hafal surah Yaasin. Namun, saya akan berusaha menghafalnya dengan metode Ustaz Yusuf Mansur, satu hari satu ayat (one day one ayat),” kataku.
“Alhamdulillah, saya sangat mendukung niat baik Mas Fadil,” kata pakar ekonomi syariah yang sangat rendah hati itu. “Setahu saya, Kuntum belum punya calon.”
Tanpa sadar, aku berucap, “Alhamdulillah.”
Oni tersenyum. “Memang sudah seharusnya kita melakukan perbaikan keturunan, Mas. Maksud saya, bukan menikah dengan lelaki yang ganteng atau wanita yang cantik, tapi menikahlah dengan laki-laki atau perempuan yang hafal Alquran. Insya Allah, keturunan kita akan lebih baik,” tuturnya.
***
Singkat cerita, aku dipertemukan dengan Kuntum dan dia menyatakan bersedia menjadi istriku. Aku mengajak orang tuaku mengunjungi orang tua Kuntum untuk menyatakan lamaran.
Sebagai juara pertama lomba menghafal Alquran, Kuntum mendapatkan hadiah berupa undangan beribadah haji dari Pemerintah Arab Saudi. Ketika Kuntum menyampaikan niatnya kepada Dubes Arab Saudi di Jakarta bahwa dia ingin sekali menikah di Masjid al-Haram—dan karenanya harus ada wali yang mendampinginya—Pemerintah Arab Saudi memberikan hadiah berupa undangan haji untuk ayah dan ibunya sekaligus.
Kuntum dijadwalkan tiba di Makkah, Jumat, 11 September 2015. Dia termasuk jamaah haji gelombang kedua. Dari Halim Perdanakusuma, Jakarta, dia dan rombongan akan mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, kemudian langsung ke Makkah.
Pukul 09.00 dia mengabarkan sudah tiba di Jeddah dan pukul 14.00 tiba di Masjid al-Haram. Kemudian, ia melakukan tawaf qudum dan umrah wajib. Pada pukul 16.00 dia mengatakan menunggu Maghrib sambil berzikir di Masjidil Haram.
Hatiku sangat berbunga-bunga setiap kali menerima SMS-nya. Akhirnya, wanita yang kucintai dan akan kunikahi selepas menunaikan ibadah haji datang juga ke Tanah Suci. Tak sabar rasanya aku untuk melihat wajah lembut dan senyum manisnya itu. Matanya yang teduh selalu mampu mendamaikan batinku.
Aku sejak pagi mendampingi Menag yang merupakan amirul haj melakukan kunjungan ke beberapa tempat di Kota Makkah dalam rangka mengecek segala hal terkait persiapan puncak ibadah haji di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armina). “Insya Allah, saya shalat Maghrib di Masjidil Haram. Kita ketemu di depan Hotel Grand Zam-Zam,” ujarku membalas SMS calon ibu anak-anakku.
***
Cuaca Makkah tidak bersahabat. Sore itu, badai debu disertai tiupan angin kencang melanda kota kelahiran Rasul. Tak lama kemudian, hujan es mengguyur Makkah. Badai dan hujan itu menyebabkan satu dari 15 crane raksasa yang mengelilingi Masjidil Haram—untuk proyek perluasan dan renovasi—ambruk menimpa ratusan jamaah yang berada di bawahnya.
Belakangan, aku ketahui jatuhnya crane raksasa yang dipegang kontraktor Bin Ladin Group pada pukul 17.23 waktu Arab Saudi (WAS) itu menewaskan 107 orang dan menyebabkan 238 jamaah terluka. Dari kalangan jamaah Indonesia, 11 jamaah meninggal dunia dan 29 korban luka.
Aku berkali-kali menghubungi HP Kuntum, namun tidak diangkat. Perasaanku tidak enak. Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang terjadi pada calon istriku.
Beberapa jam setelah mencari informasi ke sana kemari, barulah aku tahu bahwa Kuntum termasuk korban yang terluka. Ia dirawat di RS Al Noor yang berlokasi di Aziziah Janubiyah.
Aku dan Ratna, salah seorang wartawan peliput haji, bergegas ke sana. Ternyata, Menteri Agama pun datang ke sana. Kehadiran pejabat Pemerintah Indonesia itu memungkinkan kami langsung masuk ke ruang UGD.
Aku langsung mencari Kuntum. Kepalanya diperban, namun darah menembus perban tersebut. Dia tampak sangat lemah.
Aku memburunya dan bersimpuh di sampingnya. “Kuntum!” suaraku tercekat di tenggorokan.
Matanya membuka perlahan. “Mas… Fadil.”
“Kamu akan sembuh, Kuntum. Kita akan menikah setelah prosesi ibadah haji selesai.”
Ia mencoba tersenyum.
“Apakah Mas Fadil sudah hafal Surah Yasin?”
Tanpa sadar, aku mengangguk. “Insya Allah, Kuntum.”
“Maukah Mas Fadil membacakannya untuk Kuntum?”
“Ya, Kuntum.”
“Saya ingin tayamum.”
Ratna membantu Kuntum tayamum. Kemudian, menggenggam tangannya.
Sementara, aku membacakan surah ke-36 dalam Alquran itu. “Yaa Siin. Walqur ‘aanil hakiim. Innaka laminal mursaliin. ‘Alaa shiraatim mustaqiim. Tanziilal azizirrahiim ….”
Aku berhenti sejenak. Kutatap wajah Kuntum. Ia tampak tersenyum bahagia. Aku melanjutkan, “Litundzira qaumam maaundzira abaauhum fahum ghafiluun.”
Berkali-kali aku berhenti sejenak untuk menatap wajah Kuntum. Wajahnya begitu tenang seperti orang yang sedang tidur.
Ketika aku sampai pada ayat, Alyauma nakhtimu ‘alaa afwaahihim watukallimunaa aidiihim wa tasyhadu arjulujum bimaa kaanu yaksibun (ayat 65), genggaman tangannya melemah. Wajahnya kian bercahaya, senyumnya makin mengembang di bibirnya dan lamat-lamat kudengar kalimat terakhir meluncur dari bibirnya, “Lailaha illallah, Muhammadur Rasulullah.”
***
Pukul 06.00. Langit Makkah masih temaram. Hanya semburat jingga menyembul di sebelah timur.
Aku keluar dari Masjidil Haram seusai qiyamullail, subuh berjamaah, dan tadarus Alquran. Demi mengejar saf pertama, barisan di belakang Imam Misyari Rasyid, tadi malam aku datang ke Masjidil Haram pukul 02.00.
Sepanjang jalan, aku terus mengulang-ulang bacaan surah Yasin. Setiap kali kubaca satu ayat, aku seperti merasakan Kuntum mengiringi bacaanku.
Aku selalu terngiang-ngiang ucapannya, “Surah Yasin mengajarkan kita tentang kehidupan dan kematian. Dan, pada akhirnya manusia akan sampai pada suatu hari ketika mulut dikunci, hanya tangan yang berbicara, dan kaki menjadi saksi atas segala yang kita perbuat selama hidup di dunia.”
Tanpa terasa, langkah kakiku membawaku ke Terminal Syib Amir, sekitar 200 meter dari Masjid al-Haram. Di sinilah setiap pagi ratusan bahkan ribuan merpati berkumpul dan beterbangan. Namun, pagi ini tempat itu sepi. Kemana gerangan merpati-merpati Makkah itu?
Tanpa sengaja, mataku menatap ke atas, ke arah kabel-kabel listrik yang menjuntai memanjang sepanjang jalan. Kulihat sepasang merpati hinggap di sana. Namun, tiba-tiba keduanya terbang menjauh hingga membentuk bayangan kecil dan akhirnya hilang sama sekali. Seperti nasib cintaku yang kandas di Kota Suci ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Leave A Comment...